Tatkala kita berbicara di depan umum, maka janganlah hanya sekedar beretorika, tanpa memperhatikan apa yang sedang kita sampaikan (dibicarakan).
Jika yang kita sampaikan (bicarakan) adalah tentang seputar
agama, maka merujuklah ke sumber utama, yaitu Al Qur'an dan Hadits-hadits yang
bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya, kemudian untuk memperluas makna dan
wawasan, maka bacalah tafsir atau penjelasan para sahabat, para ulama, para
kiayi atau asatidz, supaya kita yakin bahwa apa yang sedang/akan kita sampaikan
(bicarakan) kepada halayak umum, bukanlah bersumber dari hawa nafsu diri
belaka.
Renungkanlah ayat berikut,
"Dia (Muhammad) tidak berbicara atas dasar hawa nafsunya,
melainkan bicaranya itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An Najm
: 3-4)
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah dijamin
kema'shumannya, yaitu dijauhkan dari kesalahan dan dosa, beliau tidak
mengedepankan hawanafsunya dalam menyampaikan dakwah, maka apatah lagi kita
sebagai manusia yang akrab dengan kesalahan dan dosa, maka tentu kita harus
membuang jauh-jauh hawanafsu diri kita tatkala kita berdakwah, berbicara, atau
menyampaikan sesuatu kepada umat.
Jangan sampai di dalam menyampaikan dakwah, kita lebih condong
mengedepankan atau mendahului pendapat yang timbul dari hawanafsu diri kita,
sebelum kita mendahului atau menge-cek dan ricek kitab Allah dan sunnah
rasul-Nya.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mendengar Maha Mengetahui." (Al Hujrat : 1)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan
ayat ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi
dan Ibnu Majah rahimahumullah, bahwa;
Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz ibn
Jabal ke Yaman, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Mu'adz,
"Dengan apa kamu akan berhukum (berdakwah)?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan kitab
Allah,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi,
"Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari kitab Allah?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan sunnah
Rasul,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih bertanya lagi,
"Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari sunnah-ku?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Aku berjtihad dengan
pendapatku (tanpa menyelisihi Al Qur'an dan Sunnah),"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq-Nya
kepadamu, yang menjadikan aku ridho."
Dan Ibnu 'Abbas radiyallahu 'anhu berkata menafsiri ayat diatas,
"(Dalam berdakwah) janganlah kamu berbicara menyelisihi Al
Qur'an dan Hadits."
Adapun masalah ijtihad, maka itu memang diperbolehkan dalam
agama islam, bahkan dibukakan pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan
ketentuannya.
Ijtihad tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah
qath'i di dalam Al Qur'an dan Al Hadits atau yang sudah disepakati oleh para
ulama terkemuka.
Imam Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia
bertanya kepada beliau mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam
dalam masalah begini begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia
berkata, "lalu bagaimana pendapat anda?"
Maka beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang
hadits rasulullah, lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu
lain beliau pernah berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari
rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."
Ijtihad tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil
qath'i dan kesepakatan para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai
ijtihad, tetapi mukholafah (penyelisihan).
Para ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para
tabi'in, mereka tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada
yang enggan berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in
lain yang telah berijtihad dengan keilmuannya yang sudah mumpuni dan kredibel.
Sehingga kemudian mereka pun lebih memilih untuk mengambil ijtihad/pendapat
sahabat/tabi'in tsb, tanpa mengadakan ijtihad baru.
Dan sungguh ungkapan yang sangat mengerikan tatkala ada sebagian
orang yang dengan lantang mengatakan, "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja,
selama itu bisa dipertanggungjawabkan."
Sungguh, orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada
yang melarikan diri dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban.
Lalu datang zaman, dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu
berkata, "yang penting bisa dipertanggungjawabkan."
Subhanallah! Subhanallah! Lahaulawalaquwwata illa billah!
Sungguh, jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar
pemikiran pendapat masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi
dirinya sendiri.
Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta'ala
dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak agama-Nya.
"Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku
masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku
bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali." (Hud : 88)
#####
"Ya Allah, janganlah Engkau
menghukum hamba, lantaraan pujian orang-orang yang diucapkan kepada hamba,
karena Engkau lebih mengetahui siapa sebenarnya diri hamba ini, dan jadikanlah
hamba sebagai hamba yang lebih baik daripada apa yang disangkakan oleh
orang-orang terhadap hamba, dan ampunilah mereka atas apa yang tidak mereka
ketahui."