Jumat, 11 Maret 2016

Renungan Untuk Para Aktifis Dakwah & Penyampai Nasihat


Tatkala kita berbicara di depan umum, maka janganlah hanya sekedar beretorika, tanpa memperhatikan apa yang sedang kita sampaikan (dibicarakan).
Jika yang kita sampaikan (bicarakan) adalah tentang seputar agama, maka merujuklah ke sumber utama, yaitu Al Qur'an dan Hadits-hadits yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya, kemudian untuk memperluas makna dan wawasan, maka bacalah tafsir atau penjelasan para sahabat, para ulama, para kiayi atau asatidz, supaya kita yakin bahwa apa yang sedang/akan kita sampaikan (bicarakan) kepada halayak umum, bukanlah bersumber dari hawa nafsu diri belaka.
Renungkanlah ayat berikut,
"Dia (Muhammad) tidak berbicara atas dasar hawa nafsunya, melainkan bicaranya itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An Najm : 3-4)
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah dijamin kema'shumannya, yaitu dijauhkan dari kesalahan dan dosa, beliau tidak mengedepankan hawanafsunya dalam menyampaikan dakwah, maka apatah lagi kita sebagai manusia yang akrab dengan kesalahan dan dosa, maka tentu kita harus membuang jauh-jauh hawanafsu diri kita tatkala kita berdakwah, berbicara, atau menyampaikan sesuatu kepada umat.
Jangan sampai di dalam menyampaikan dakwah, kita lebih condong mengedepankan atau mendahului pendapat yang timbul dari hawanafsu diri kita, sebelum kita mendahului atau menge-cek dan ricek kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui." (Al Hujrat : 1)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah, bahwa;
Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz ibn Jabal ke Yaman, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Mu'adz,
"Dengan apa kamu akan berhukum (berdakwah)?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan kitab Allah,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, "Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari kitab Allah?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan sunnah Rasul,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih bertanya lagi, "Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari sunnah-ku?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Aku berjtihad dengan pendapatku (tanpa menyelisihi Al Qur'an dan Sunnah),"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq-Nya kepadamu, yang menjadikan aku ridho."
Dan Ibnu 'Abbas radiyallahu 'anhu berkata menafsiri ayat diatas,
"(Dalam berdakwah) janganlah kamu berbicara menyelisihi Al Qur'an dan Hadits."
Adapun masalah ijtihad, maka itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.
Ijtihad tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam Al Qur'an dan Al Hadits atau yang sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.
Imam Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana pendapat anda?"
Maka beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah, lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."
Ijtihad tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi mukholafah (penyelisihan).
Para ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in lain yang telah berijtihad dengan keilmuannya yang sudah mumpuni dan kredibel. Sehingga kemudian mereka pun lebih memilih untuk mengambil ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in tsb, tanpa mengadakan ijtihad baru.
Dan sungguh ungkapan yang sangat mengerikan tatkala ada sebagian orang yang dengan lantang mengatakan, "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja, selama itu bisa dipertanggungjawabkan."
Sungguh, orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman, dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang penting bisa dipertanggungjawabkan."

Subhanallah! Subhanallah! Lahaulawalaquwwata illa billah!
Sungguh, jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran pendapat masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta'ala dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak agama-Nya.
"Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali." (Hud : 88)
#####

"Ya Allah, janganlah Engkau menghukum hamba, lantaraan pujian orang-orang yang diucapkan kepada hamba, karena Engkau lebih mengetahui siapa sebenarnya diri hamba ini, dan jadikanlah hamba sebagai hamba yang lebih baik daripada apa yang disangkakan oleh orang-orang terhadap hamba, dan ampunilah mereka atas apa yang tidak mereka ketahui."