Kamis, 22 Oktober 2015

Kala Merindu




Kala aku merindu;
Aku bagai duduk di atas sampan, berada di tengah laut, tenang, sendirian.
Ingin turun dari sampan, tersadar bahwa di bawahku adalah laut, yang ada aku dilahap hiu atau paus.
Dan jika aku terus-terusan berada di atas sampan, lama-lama aku jadi ikan gesek terpanggang panas matahari.
Kugunakan saja kayuh harapanku, mencari tepian pantai, tahu-tahu aku lelah, terasa seakan semua anggota badan terpisah berantakan.

Kala aku merindu;
Aku bagai menahan beban batu besar di pundakku, terasa sungguh jalanku kepayahan, terseyok-seyok.
Ingin kujatuhkan, tapi batu besar ini seperti sudah sangat melekat di punggungku, tanganku pecah-pecah, punggungku berdarah-darah, keringat peluh deras membuncah.

Kala aku merindu;
Aku seperti sedang duduk di sebuah gerbong kecil, menyusuri terowonagn panjang yang gelap, pekat.
Aku tak bisa melihat apa-apa, bahkan sekedar melihat telapak tanganku sendiri.

Rindu; perasaan abstrak, entah di sebelah mana letaknya di hati ini.
Jika sekiranya rindu itu menempel di tangan, pastilah mungkin sudah kupotong tangan ini.

Namun tersadar, apalah artinya jika aku hidup dengan sebelah tangan yang terpotong.

Ah rindu!

Minggu, 06 September 2015

Sederhana Yang Berbuah Syurga



Imam Ibnul Qayiim berkata,

“Sesungguhnya dalam memenuhi kebutuhan (menolong) manusia ada rasa kelezatan yang tidak bisa dikecap dan diketahui melainkan oleh orang yang melakukannya. Dan selalulah berbuat baik kepada siapa pun! Sebab kamu tidak tahu, kebaikan apa yang akan mengantarkanmu ke syurga.”

Subhanallah, jika kita renungi tutur kata indah beliau, maka kita akan mendapati bahwa betapa luas kasih dan sayang Allah subhanahu wa ta’ala bagi mereka yang senang melakukan kebaikan. Sehingga tidak heran jika di dalam Al Qur’an diabadikan sebuah pengakuan cinta dari Yang Maha Kuasa.

“Dan Allah mencintai orang-orang yang senang berbuat kebaikan.” (Ali Imran : 134)

Apa pun jenis dan bentuk kebaikan yang bisa kita lakukan, maka hendaknya kita lakukan dengan segera dan berkesinambungan. Tidak perlu menunggu momen atau sesuatu untuk melakukan kebaikan. Kapan pun dan dimana pun, kita bisa melakukan kebaikan. 

Dan berikut adalah 5 kebaikan sederhana yang insyaallah bisa kita amalakan bersama,

1.      Murah senyum, “Jangan pernah kamu remehkan kebaikan sekecil apa pun, walau hanya sekedar menampakkan wajah ceria penuh senyum di hadapan saudaramu.” (Al Hadits)

2.      Berdoa secara rahasia, “Siapa saja seorang muslim yang berdo’a untuk saudaranya yang lain secara rahasia, maka do’anya pasti mustajab, di atas kepalanya ada malaikat yang ditugaskan untuk mengamini do’anya seraya berkata, ‘aamiin dan bagimu seperti apa yang kamu do’akan untuk saudaramu.’ “(Al Hadits)

3.      Memberi makan hewan apa saja yang kamu jumpai, “Dahulu, ada seorang wanita bani isra’il yang dikenal sebagai ahli maksiat (suka main dengan laki-laki), dan suatu hari dia berjalan melewati suatu jalan, kemudian ia mendapati seekor anjing yang sedang kehausan, lalu dengan penuh kasih, ia memberikan air minumnya kepada anjing tersebut. Oleh sebab kebaikan dan belas kasihnya, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan memasukkannya ke syurga.” (Al Hadits)

4.      Bersedekah atau berbagi kepada siapa saja walau hanya dengan sebutir kurma, “Jagalah diri kalian dari siksa api neraka, walah hanya dengan sebutir kurma yang kamu bagi kepada orang lain.” (Al Hadits)

5.      Menyingkirkan atau menjauhkan segala hal yang dapat membahayakan orang lain atau makhluk lain, “Suatu ketika, ada seorang lelaki yang berjalan melewati jalanan yang sering dilalui manusia, disana ia mendapati sebuah duri/batu, kemudian ia berbisik dalam hatinya, ‘demi Allah, aku akan menyingkirkan duri/batu ini, sehingga tidak membahayakan orang lain.’ Oleh sebab kebaikannya tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala memasukkannya ke syurga." (Al Hadits)

Subhanallah allahu akbar, sungguh luarbiasa dan istimewanya mereka yang diabadikan kisahnya di dalam riwayat-riwayat hadits mulia, yang pelajarannya akan terus hidup dan berfaidah sampai hari kiamat. Kebaikan sederhana, berbuah syurga, menjadi sebuah kisah yang istimewa.

Jumat, 14 Agustus 2015

Jangan Tinggalkan Shalat!


Sholat 5 waktu tidak boleh ditinggalkan bagaimana pun keadaan. Dalam keadaan sakit, bepergian, atau peperangan. Kecuali wanita yang sedang berhalangan.

Oleh karenanya, orang yang mengetahui kewajiban sholat 5 waktu, lalu dengan sengaja meninggalkannya.
Maka ia dihukumi kafir, tidak boleh disholati jenazahnya, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Atau ia tetap dihukumi sebagai muslim, tapi wajib dibunuh, dipancung atau digantung jika dia enggan bertaubat.

Orang yang meninggalkan sholat karena lupa, maka dia wajib melaksanakannya ketika dia ingat. Misalkan saudari meninggalkan sholat dzuhur karena lupa, kemudian saudari ingat di waktu sore, maka wajib bagi saudari melaksanakan sholat dzuhur di waktu tersebut. Atau ingatnya di waktu malam, maka saudari wajib melaksanakan sholat dzuhur di waktu tersebut. Karena Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "barangsiapa yang lupa mengerjakan sholat, maka dia wajib mengerjakannya ketika dia ingat."


Tidak ada bayar fidyah bagi orang yang meninggalkan sholat. Adapun orang-orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat bertahun-tahun misalkan. Kemudian ia sadar dan bertaubat. Maka cukup baginya bersungguh-sungguh dalam taubatnya dengan selalu mengerjakan sholat 5 waktu dan menambahinya dengan sholat-sholat sunnah. Karena sesungguhnya orang yang dengan sungguh-sungguh bertaubat dan ikhlas ingin memperbaiki diri, maka dia seperti orang yang bersih tidak ada dosa.

Simpang Jodoh; #Salman# dan Jamilah.


Saat hasrat ingin menikah mulai timbul, dan didukung dengan adanya kemampuan ba'ah (materi dan batini), maka menikah harus disegerakan, tak boleh ditunda atau diulur sampai nanti-nanti. Sebab hawatir jika tidak disegerakan, syaithan akan membuat tipu daya dan makar yang menyesatkan.

Demikianlah yang saat ini sedang dialami oleh Salman; seorang pemuda rantauan yang usianya sudah sangat pas untuk segera menyempurnakan agamanya, yaitu dengan menikah. Di usianya yang 25 tahun, ia terbilang sebagai seorang pemuda pendatang yang sukses di kota A. Banyak orang yang menghormati dan mencintainya, bahkan ia sudah dianggap sebagai saudara atau penduduk asli kota A tsb. Mengingat betapa santun akhlaknya, luhur pekertinya, senang membantu, dan penyayang terhadap sesama.

"Sepertinya aku harus menikah," tutur Salman kepada sahabatnya Darda yang usianya lebih tua 2 tahun darinya.

"Wah, betul itu!" Ucap Darda seraya mengacungkan jempolnya, "bahkan wajib bagi pemuda sepertimu," lanjutnya menepuk pundak Salman.

Salman dan Darda adalah 2 pemuda yang sudah lama menjalin persahabatan. Jika dilihat-lihat, mereka bagai adik-kakak. Sangat akrab dan sama-sama ganteng. Tidak hanya itu, mereka pun dikenal sebagai 2 pendekar Masjid. Karena keduanya lah Masjid-masjid di kota A menjadi makmur dengan berbagai macam kegiatan. Khususnya pada momen-momen penting Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut sering dihadiri oleh banyak muda-mudi muslim. Dan tak jarang, anggaran setiap kegiatan pun, mereka berdua yang mendonaturinya. Subhanallah, betapa beruntung 2 pemuda tersebut. Allah subhanahu wa ta'ala telah mengaruniakan pada keduanya kekayaan hati dan kekayaan materi. Dan anugerah terbesarnya; mereka berdua saling bersahabat. Klop markotop.

#####

"Da, kamu mau menemaniku?" Tanya Salman kepada Darda.

"Usah bertanya begitu! Langsung kamu ajak pun, aku pasti mau," tegas Darda.

"Insyaallah, besok aku mau melamar seorang wanita," ucap Salman.

"Kenapa besok? Sekarang saja," rayu Darda, "Memangnya wanita mana yang mau kamu lamar?" Lanjutnya bertanya.

"Itu loh, pak Haji Sakti," ceplos salman.

"Astaghfirullah, inna lillah... yang benar saja dong man?!" Seru Darda terkejut seraya mengelus-elus dadanya, "Kamu mau melamar pak Haji Sakti?!" Lanjutnya heran penuh tanya.

"Aduh, sorry. Maksud aku, puterinya pak Haji Sakti; Nur Jamilah," menyebut nama itu, seketika wajah Salman memerah, "Bagaimana?" Lanjutnya bertanya kepada Darda.

"Istimewa sekali pilihanmu man," ucap Darda dengan senyuman suporting. Seketika ia pun merangkul pundak Salman, "Insyaallah, aku siap menemanimu melamar Jamilah," tegasnya pada Salman.

Sengaja Salman meminta Darda guna menjadi pendampingnya untuk melamar Jamilah esok hari. Karena Darda merupakan warga asli di lingkungan tempat tinggalnya, dan tentu ia adalah orang yang paling dekat interaksinya dengan warga-warga sekitar, termasuk pak Haji Sakti. Adapun Salman, ia merupakan warga pendatang yang tinggal di tengah-tengah warga. Dan diantara adat masyarakat disitu, seorang pendatang yang hendak melamar wanita penduduk asli, maka ia wajib ditemani oleh penduduk asli pula; laki-laki atau perempuan. Dan Salman memilih Darda; seorang sahabat yang hampir 3 tahun ini sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Karakter pribadi Darda tidak jauh berbeda dengan karakter pribadi Salman. Arwah (jamak dari kalimat ruh; arabiclanguage) adalah tentara yang saling mengenal. Jika jasad saling berdekatan, maka akan langsung akrab dan serasi.

#####

Keesokan harinya, Salman dan Darda bersiap untuk mendatangi rumah pak Haji Sakti. Mereka berjalan kaki menyusuri gang demi gang. Kurang lebih jarak rumah pak Haji Sakti dengan rumah kontrakan Salman yaitu seperti membaca penuh surat Al A'la. Tidak jauh. Dekat.

“Da, menurut kamu, Jamilah bagaimana?” tanya Salman di tengah perjalanan, “Kamu kan sudah lama mengenalnya,” lanjutnya.

“Aku memang sudah lama mengenalnya, tapi aku tidak begitu dekat dengannya man. Ya kamu tahu sendiri dong, agama kita kan melarang untuk dekat-dekat dengan wanita bukan mahrom,” terang Darda.

“Yah ela Da, ko’ malah ceramah sih,” ucap Salman seraya menepuk jidatnya.

“Hehehe, iya man, santai!” Darda cengengesan, “Jamilah itu bagai purnama di antara bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya bisa dipandang dari kejauhan. Tak sembarang orang bisa mendekatinya, bagai bunga jempa yang mekar di Aceh, dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan memetiknya hanyalah orang khusus yang sudah mendapat izin resmi dari yang kuasa,” ungkap Darda puitis.

“Subhanallaahhh… bahasamu itu loh, kayak pujangga,” puji Salman, “Sepertinya dalem banget yah kamu mengilustrasikan pribadi Jamilah,” kemudian curiga Salman.

Mendengar itu, seketika Darda terdiam. Ia sendiri pun tak sadar bisa mengungkap kata sedemikian dalam. Ia terbawa perasaan hati.  Jangan-jangan Darda pun menaruh hati kepada Jamilah, “Astaghfirullah, astaghfirullah,” lirih Darda.

“Kenapa Da?” tanya Salman.

“Afwan man, aku terlalu berlebihan,” jelas Darda, “Ya sudahlah, nanti juga kamu tahu sendiri, kamu kan akan menikahinya,” lanjutnya.

Salman dan Darda pun melanjutkan langkah kakinya. Sebelumnya Darda sudah memberi tahu pak Haji Sakti bahwa sahabatnya Salman akan melamar puteri beliau. Dan beliau menanggapinya dengan senang hati, karena memang pak Haji Sakti sangat menyukai pribadi Salman yang baik dan sopan. Tapi pak Haji Sakti bukanlah orang tua yang senang mengedepankan kehendaknya sendiri, sehingga beliau mempersilahkan Darda membawa Salman ke rumah beliau, supaya semuanya berjalan sesuai dengan proses antar satu sama lain. Dan semua pihak yang bersangkutan bisa terlibat dalam mengambil keputusan. Termasuk Jamilah sendiri sebagai objek yang akan dilamar; menerima atau menolak.

#####

Di rumah pak Haji Sakti.

“Jamilah, insyaallah pagi ini akan ada pemuda yang ingin melamarmu, namanya Salman, sahabatnya Darda, orang pendatang itu loh, kamu sudah kenal,” kata pak Haji Sakti kepada puterinya Jamilah.

“Alhamdulillah, iya abi, kemarinkan abi sudah bilang, kalau begitu dipersilahkan saja supaya mereka segera datang. Jamilah sudah tahu ko’ orangnya, tapi Jamilah tidak begitu kenal,” terang Jamilah.

“Ya kalau sudah menikah, pasti nanti kamu akan mengenalnya sendiri,” harap pak Haji Sakti.

“Iya abi, insyaallah jika memang itu terjadi, kan Jamilah belum memutuskan,” ucap Jamilah.

Pak Haji Sakti menjadi heran dengan ucapan puterinya tersebut. Nadanya terdengar seakan ia tidak suka dengan Salman. Tapi kenapa ia setuju dengan kedatangan Salman untuk melamarnya. Pak Haji Sakti tampak bingung. Beliau menggelengkan kepalanya. Pelan.   

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba terdengar ucap salam dari luar rumah, “Assalamu’alaikum,” terdengar lagi.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab pak Haji Sakti seraya berjalan ke arah pintu depan rumah. Kemudian membukanya, “Alhamdulillah, kalian sudah datang, ayo silahkan masuk!” pak Haji Sakti mempersilahkan. Ternyata yang mengucap salam adalah Salman dan Darda. Mereka sudah sampai di kediaman Jamilah.

Dag dig dug dag dig dug. Tiba-tiba dada Salman berdebar-debar. Keringat dingin mulai mengucur. Kakinya pun bergetar. Tangannya sesemuatan. Dan mulutnya terasa kaku.

“Umi, kesini mi, ada tamu spesial nih,” seru pak Haji Sakti memanggil istrinya, “Sambil bawa minum dan hidangan yah mi,” perintahnya kemudian.

“Iya bi, abi cerewet ih,” sahut istrinya dari dapur.

Salman dan Darda tersenyum menyaksikan canda harmonis sepasang kekasih yang sudah menua. Ternyata, usia tua bukanlah alasan atas ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Justru, semakin menua dalam jalinan cinta, maka semakin harmonislah hubungan rumahtangga. Ya seharusnya begitu. Right!

#####

Sedari tadi Salman hanya diam. Tak berbicara sepatah kata pun. Mungkin ia grogi dan malu. Atau, ia sedang merangkai kata yang pas untuk diutarakan di hadapan pak Haji Sakti.

“Alhamdulillah, bapak merasa terhormat dengan kedatangan 2 pemuda seperti kalian,” pak Haji Sakti memulai obrolan.

“Alhamdulillah, justru kami lah yang merasa terhormat karena sudah diizinkan untuk datang dan bertamu ke rumah bapak,” ucap Darda.

“Begini pak, sebagaimana yang sudah saya kabarkan bahwa sahabat saya ini ingin melamar puteri bapak, yaitu neng Jamilah,” Darda mengutarakan maksud inti kedatangannya dengan Salman.

Salman tersenyum seraya menganggukkan kepalanya di hadapan pak Haji Sakti, “Iya pak, betul apa yang diutarakan Darda,” kemudian ucapnya.

“Alhamdulillah, itu adalah maksud yang sangat mulia, tapi bapak harap, proses pernikahannya nanti harus segera dilaksanakan, karena bapak tidak mau ada hubungan terlarang antara puteri bapak dengan nak Salman,” terang pak Haji Sakti.

“Sssst, bapak gak boleh gitu,” sanggah ibu seraya menyikut pak Haji Sakti, “Jamilah kan belum memutuskan,” lanjut ibu yang seakan merahasiakan sesuatu.

“Ibu ini bicara apa?” heran pak Haji Sakti.

“Tenang saja pak, bu, ini aku sudah membawa mahar untuk Jamilah sebagai bukti bahwa aku serius ingin menikahinya,” potong Salman seraya menyodorkan mahar yang dibawanya; cincin dan kalung emas beserta seperangkat alat sholat, yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah.

“Masyaallah, bapak jadi gak enak,” lirih pak Haji Sakti, “Apa ini gak berlebihan nak Salman?” tanya beliau kemudian.

“Insyaallah tidak pak,” jawab Salman singkat.

Sebenarnya, dari tadi Salman nampak seperti orang yang kehilangan sesuatu. Matanya melarak sana-sini. Ia tidak mendapati Jamilah.

Eh ternyata, adat masyarakat disitu tidak membolehkan seorang wanita langsung dinazhor oleh seorang lelaki yang melamarnya, kecuali jika si wanita positif menerima. Oleh karenanya, Jamilah disembunyikan di balik tembok ruang tamu, dan ia dibiarkan mendengar obrolan antara si pelamar dan keluarganya.

“Baiklah kalau begitu, bapak mohon izin untuk meminta keputusan Jamilah,” ucap pak Haji Sakti seraya bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke belakang tembok ruang tamu. Dan ibu ikut menyertainya.

#####

Setelah pak Haji Sakti berbicara dan berdiskusi dengan puterinya, Jamilah, beliau kembali menemui Salman dan Darda. Tapi kali ini wajah pak Haji Sakti tampak berbeda dari sebelumnya. Di samping itu, Salman sudah sangat bersiap menerima apa pun jawaban dan keputusan Jamilah. Karena memang Salman sudah mempelajari adab dan tatakrama seorang pelamar ketika melamar. Bahwa seorang pelamar tidak memiliki hak apa pun untuk memaksa, apalagi melakukan tindak kecurangan, seperti menyogok orang tua dengan uang atau kemewahan, dan atau dengan mengancam ancaman kriminal. Tidak. Salman bukan pemuda yang seperti itu. Pernikahan adalah ibadah, segala prosesnya harus bernilai positif dan halal.

“Nak Salman, sebenarnya bapak merasa berat mengungkapkan hal ini,” tutur pelan pak Haji Sakti, “Awalnya bapak yakin, Jamilah pasti menerima nak Salman, tapi ternyata, Jamilah lebih memilih lelaki lain,” kemudian terang pak Haji Sakti.

“La haula wa la quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya melainkan atas izin Allah,” sambil menghela nafas Salman mengucap kalimat haulah. Dalam. Darda yang berada di sampingnya langsung merangkul pundak Salman seraya mengusap-usapnya, “Allah lebih tahu yang terbaik untukmu man,” bisiknya kemudian di telinga Salman.

“Tapi maaf pak, jika memang Jamilah tidak menerimaku, lalu kenapa itu tidak disampaikan dari kemarin?” tanya heran Salman.

“Itu dia nak Salman, yang membuat bapak bingung,” jawab pak Haji Sakti, “Kemarin, Jamilah mengatakan, ‘iya pak, suruh saja mereka datang’, bapak pikir ini adalah lampu hijau untuk nak Salman,” terang beliau kemudian.

“Baiklah pak, terimakasih sudah mengizinkan kami datang, sepertinya kami langsung pamit undur diri saja pak,” ucap Salman yang nampak kecewa. Tak terbayang entah seperti apa kondisi hatinya. Kalau dadanya di belah, mungkin hatinya sudah seperti kerupuk angin. Creces.

“Tunggu dulu,” cegah pak Haji Sakti, “Nak Darda, apakah kedatangan nak Darda hanya sekedar menemani nak Salman?” tanya beliau.

Salman dan Darda saling pandang, merasa heran dengan pertanyaan pak Haji Sakti. Seharusnya beliau sudah mengetahui hal itu.

“Maksud bapak?” Darda balik bertanya.

“Maksud bapak, apakah nak Darda memiliki keperluan yang sama seperti nak Salman?” tanya lagi pak Haji Sakti.

Untuk kedua kalinya Salman dan Darda saling pandang. Lebih dalam. Mulut keduanya menganga. Hah!

Darda memang sudah lama mengenal Jamilah. Tapi kedatangannya saat ini, hanyalah sekedar menemani sahabatnya, yaitu Salman. Tak ada niatan sedikit pun untuk melamar Jamilah. Dan Salman yang di sampingnya, mulai mengingat kembali untaian kata, yang pernah diungkap Darda saat menggambarkan pribadi Jamilah, “Jamilah itu bagai purnama di antara bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya bisa dipandang dari kejauhan. Tak sembarang orang bisa mendekatinya, bagai bunga jempa yang mekar di Aceh, dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan memetiknya hanyalah orang khusus yang sudah mendapat izin resmi dari yang kuasa.”

Salman pun mulai memahami, bahwa Darda sepertinya telah lama menaruh hati pada Jamilah, puteri pak Haji Sakti. Tapi dia merahasiakan hal itu, terlebih saat Salman berniat melamar Jamilah.

“Jamilah sepertinya lebih memilih nak Darda untuk menjadi pendamping hidupnya,” tiba-tiba pak Haji Sakti mengungkapkan kalimat yang bagai petir menyambar. Tepat menyambar dada Salman. Menembus sampai ke ulu hati.

“Apa?” seru Salman bertanya, seraya menoleh ke arah Darda dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Astaghfirullah, kenapa jadi begini? Seharusnya pak Haji Sakti tidak mengungkap hal ini sekarang. Aduh, ini tidak tepat. Kacau,” bisik Darda dalam hatinya. Entah, ia tidak tahu bakal jadi apa persahabatannya dengan Salman. Ia sendiri pun tidak pernah mengira akan jadi begini situasinya. Terlebih, ia merasa tidak percaya bahwa Jamilah lebih memilih dirinya ketimbang sahabatnya, Salman. Memang ada rasa bahagia. Tapi di sisi lain, dia merasa tak enak hati dengan Salman.

“Darda,” Salman mengelus pundak Darda, seraya menghela nafas. Dalam. Sangat dalam. Kemudian ia merubah posisi duduknya, mencari posisi tenang.

“Iya man,” sahut Darda dengan kepala merunduk. Ia merasa telah menghianati sahabatnya tersebut. Padahal sebenarnya, Darda sama sekali tidak berniat demikian. Ini terjadi begitu saja, secara spontanitas. Tanpa direncanakan sebelumnya.

“Bismillah,” ucap Salman membaca basmalah, “Darda, bagiku kamu lebih dari sekedar sahabat, kamu adalah saudara. Ini, ambillah seluruh maharku! Lamar Jamilah sekarang juga,” lanjutnya seraya menyodorkan mahar yang awalnya dia siapkan untuk Jamilah, “Saudaraku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga,” lanjut Salman.

Seketika Darda langsung memeluk Salman. Dengan penuh rasa bersalah ia berucap, “Maafkan aku man, maafkan aku,” air mata Darda berderai, begitu pula air mata Salman. Keduanya saling berpelukan. Sungguh mengharukan. Bahkan pak Haji Sakti dan istrinya pun ikut menangis. Haru. Dan di balik tembok ruang tamu, terdengar pula isak tangis. Ya, Jamilah pun ikut menangis, mendengarkan percakapan tersebut.

Subhanallah walhamdulillah. Sungguh betapa luarbiasa apa yang Allah tampakkan bagi kita, yaitu keteladanan yang begitu indah.

Salman dan Darda, merupakan teladan luarbiasa yang patut untuk dicontoh bagi segenap manusia. Persahabatan mereka begitu dalam. Mengakar. Tumbuh berkembang. Berbunga. Berbuah. Memekarkan tali perasudaraan yang harmonis. Masyaallah tabarakallah.

Darda, menyimpan dan merahasiakan perasaannya.
Salman, dengan seketika, rasa kecewanya berubah dengan rasa keinginan untuk berbagi. 
Dan Allah menghendaki segala sesuatunya. Allaahu akbar!

“Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata 2 sahabat mulia Salman al Farisi dan Abu Darda al Anshori radiyallahu ‘anhuma.