Kakak : “Takdir adalah
sistem (pilihan), kau yang memilih mau jadi apa, baik atau buruk. (Quraish
Shihab)”
Adik : “Sungguh celaka!
Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq
(mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam
atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang
yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya. Kemudian
soal perkataan bapak quraisy syihab, maka sesungguhnya perlu diteliti lagi,
karena mengingat betapa banyak pendapat atau perkataan beliau yang bersebrangan
dengan ajaran yang sahih dari nabi sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat
radiyallahu 'anhum dan para tabi'in rahimahumullah. Kita memang dibolehkan
mengambil ilmu dari mana pun sumbernya selagi itu sesuai dengan ajaran islam.
Adapun ilmu yang bersebrangan dengan ajaran islam, maka itu bukanlah ilmu, akan
tetapi kejahilan (kebodohan). Wallahu ta'ala a'lam. Semoga Allah memberi
pemahaman yang baik kepada kita dan mengampuni segala kekeliruan dan kekhilafan
kita. Innahu huwal ghafuurur rahiim.”
Kakak : “Sepertinya
salah sekali saya mengutip kata-kata itu dari QS, padahal bukan sebuah
kesesatan atau persoalan personal dari QS yang saya maksud dan diuraikan di
sini. pikiran-pikiran anda masih bertumpu pada wilayah personal. mari baca
penjelasan beliau dengan teliti dan penuh kesabaran. untuk persolan menguraikan
takdir, saya hanya menangkap isi dari apa yang disampaikan, bila pun keliru
(itu karena kekeliruan dan kebodohan saya yang menyimpulkan) bukan dari Pak
Quraish Shihab. Mohon dipertimbangkan lagi pendapat saudara.
"Janganlah
coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq
(mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam
atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang yang
berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya."
Ukuran orang yang
mumpuni masalah takdir itu seperti apa? kalau mendengarkan kajian beliau selama
satu jam (QS), beliau sangat mumpuni dan pernyataan beliau sangat relevan
dengan Alquran. Sungguh gegabah bila Anda hanya membuat pernyataan demikian
tanpa tahu penjelasan beliau. Barangkali bila kata-kata di status itu salah
(itu bukan salah Pak QS) melainkan, kekeliruan saya. Jadi, mohon klarifikasi
lagi pendapat Saudara. Karena saya tidak mau Pak QS yang Anda judge. Saya di
sini mendengar, mencermati, dan mencoba menganalisis dari apa yang beliau
sampaikan. Bukan berarti saya coba-coba berbicara masalah takdir (secara
mendalam). Saya masihlah awam, saya sadari itu. Saya mendengarkan ini bagian
dari ilmu. Saya sedang belajar dan saya sedang berusaha memahami.
Barangkali pernyataan
"orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir
padahal dia belum pernah mempelajarinya" adalah diperuntukkan bagi
orang-orang yang sok tahu yang tidak berdasar pada Alquran. Pak QS ahli tafsir
(Al-Misbahh) dan tentu beliau sudah mempelajari ihwal ilmu tentang takdir. Dan
saya, di sini sedang (berusaha) mempelajarinya--bukan belum pernah
mempelajarinya, kalau begitu Anda menganggap saya bukan orang yang terpelajar.
Jadi pernyataan Anda mengenai kutipan tersebut gegabah. Adikku, mohon hati-hati
ketika berdakwah dan menasihati. Di sini mari kita sama-sama belajar.
Perdebatan saya ini bukan memojokkan atau menjatuhkanmu Saudaraku, melainkan
saling bertukar pikiran. Saya senang kau sudah menjadi orang yang punya wawasan
dan pandangan terkait teks yang dibaca.”
Adik : “Saya tidak
mengklaim kebodohan pada siapa pun. Saya hanya mendefinisikan bahwa kebodohan
adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syari'at (Al Qur'an dan Al
Hadits). Seseorang yang berilmu itu diukur dari sejauh pemahamannya terhadap
agama. Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits
shahih yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan imam muslim rahimahumallah,
"mereka yang terbaik dalam masa jahiliah, adalah mereka yang terbaik
ketika masuk islam apabila dia faqih (memahami agama)."
Boleh jadi seseorang
memiliki kedudukan tinggi di pandangan masyarakat, dan dikenal sebagai orang
besar. Namun apabila dia tidak memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya
tersebut hanyalah akan menjadi fitnah yang dapat mencelakakannya. Lain halnya
jika dia memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya tersebut akan
menjadikannya semakin mulia; baik di mata manusia, terlebih di mata Allah
subhanahu wa ta'ala.
Duhai saudaraku,
ma'afkanlah jika kiranya dalam uraianku ini terdapat kekeliruan. Kita tetaplah
bersaudara, walau berbeda dalam beberapa hal.
Kemudian aku ingin
bertanya. Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal?
Jujur. Saya pun
mengagumi sosok beliau. Hanya saja ada beberapa pendapat atau perkataan beliau
yang kurang berkenan. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua dan
mengampuni atas segala kekurangan kita.”
Kakak : “Apa maksudnya
bertumpu pada wilayah personal? maksud saya, banyak orang yang benci kepada
beliau dengan subjektif. Menjudge beliau sesat atau apa. Padahal orang-orang
itu tidak membaca dan juga mengkaji pendapat dan buku beliau. Saya punya
puluhan ceramah beliau, dan sangat berbobot dan tidak sembarangan. Apa yang
beliau sampaikan bukan datang begitu saja, beliau juga belajar dan juga
membaca.
Terkait memahami agama.
Agama itu sekadar kata. Aplikasinya ya menurut pehamanannya masing-masing
memaknai Alquran dan sunnah.Ya dengan cara ijtihadlah manusia mencari hakikat
kebenaran.
Perbedaan pendapat ya
sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan. Beliau saya rasa bukan
sosok yang asal berpendapat. Beliau begitu tabah dan sabar dengan penilaian
para ulama mengenai pendapatnya. Ini sesuatu yang patut diteladani dari sosok
beliau. Jadi, ungkapan semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang
menimpanya itu memang benar. Beliau sedang kembali di atas angin setelah lama
redup dari media. Sekali muncul, terpaan dan hujatan ke sana ke mari belingsatan.
Dan beliau cukup tabah menghadapi itu. Sekait dengan beberapa perbedaan,
semisal jilbab, mengucap natal, dan lain-lain, itu menjadi sesuatu yang bisa
kita kaji dan renungkan kembali. Sehingga kita bisa mencari lebih banyak lagi
sumber referensi dan ilmu yang sekait dengan hal demikian.”
Adik : “Sepertinya
saudara lah yang bertumpu pada wilayah personal. Apakah menurut saudara
penilaian para ulama itu tidak dengan pertimbangan?!
Adapun masalah ijtihad,
itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan pintu
seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.
Ijtihad tidak
diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam al qur'an dan al
hadits atau sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.
Imam Asy Syafi'i
rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau mengenai
hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini begitu
(masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana
pendapat anda?"
Maka beliau marah besar
dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah, lalu berkata
bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah berkata,
"jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka
tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."
Ijtihad tidak berlaku
sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan para ulama,
bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi mukholafah
(penyelisihan).
Para ulama sendiri,
baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka tidak sembarangan
dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan berpendapat/berijtihad
ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in yang telah berijtihad, dan dia
lebih berilmu. Sehingga mereka pun mengambil ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in
tsb.
Dan sungguh ungkapan
yang sangat mengerikan "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa
dipertanggungjawabkan."
Sungguh, orang-orang
shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri dari
berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman, dimana
orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang penting bisa
dipertanggungjawabkan."
Subhanallah!
Subhanallah!
Sungguh, jikalau setiap
orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran masing-masing, maka
setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya aku
berlindung kepada Allah dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak
agama-Nya.
"Aku hanya
bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang
aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula
aku kembali." (Hud : 88)
Kakak
: “Terima kasih atas penjelasan saudara beserta dalil dalihnya. semoga
mencerahkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar