Saat
hasrat ingin menikah mulai timbul, dan didukung dengan adanya kemampuan ba'ah
(materi dan batini), maka menikah harus disegerakan, tak boleh ditunda atau
diulur sampai nanti-nanti. Sebab hawatir jika tidak disegerakan, syaithan akan
membuat tipu daya dan makar yang menyesatkan.
Demikianlah
yang saat ini sedang dialami oleh Salman; seorang pemuda rantauan yang usianya
sudah sangat pas untuk segera menyempurnakan agamanya, yaitu dengan menikah. Di
usianya yang 25 tahun, ia terbilang sebagai seorang pemuda pendatang yang
sukses di kota A. Banyak orang yang menghormati dan mencintainya, bahkan ia
sudah dianggap sebagai saudara atau penduduk asli kota A tsb. Mengingat betapa
santun akhlaknya, luhur pekertinya, senang membantu, dan penyayang terhadap
sesama.
"Sepertinya
aku harus menikah," tutur Salman kepada sahabatnya Darda yang usianya
lebih tua 2 tahun darinya.
"Wah,
betul itu!" Ucap Darda seraya mengacungkan jempolnya, "bahkan wajib
bagi pemuda sepertimu," lanjutnya menepuk pundak Salman.
Salman
dan Darda adalah 2 pemuda yang sudah lama menjalin persahabatan. Jika
dilihat-lihat, mereka bagai adik-kakak. Sangat akrab dan sama-sama ganteng.
Tidak hanya itu, mereka pun dikenal sebagai 2 pendekar Masjid. Karena keduanya lah
Masjid-masjid di kota A menjadi makmur dengan berbagai macam kegiatan.
Khususnya pada momen-momen penting Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut sering
dihadiri oleh banyak muda-mudi muslim. Dan tak jarang, anggaran setiap kegiatan
pun, mereka berdua yang mendonaturinya. Subhanallah, betapa beruntung 2 pemuda
tersebut. Allah subhanahu wa ta'ala telah mengaruniakan pada keduanya kekayaan
hati dan kekayaan materi. Dan anugerah terbesarnya; mereka berdua saling
bersahabat. Klop markotop.
#####
"Da,
kamu mau menemaniku?" Tanya Salman kepada Darda.
"Usah
bertanya begitu! Langsung kamu ajak pun, aku pasti mau," tegas Darda.
"Insyaallah,
besok aku mau melamar seorang wanita," ucap Salman.
"Kenapa
besok? Sekarang saja," rayu Darda, "Memangnya wanita mana yang mau
kamu lamar?" Lanjutnya bertanya.
"Itu
loh, pak Haji Sakti," ceplos salman.
"Astaghfirullah,
inna lillah... yang benar saja dong man?!" Seru Darda terkejut seraya
mengelus-elus dadanya, "Kamu mau melamar pak Haji Sakti?!" Lanjutnya
heran penuh tanya.
"Aduh,
sorry. Maksud aku, puterinya pak Haji Sakti; Nur Jamilah," menyebut nama
itu, seketika wajah Salman memerah, "Bagaimana?" Lanjutnya bertanya
kepada Darda.
"Istimewa
sekali pilihanmu man," ucap Darda dengan senyuman suporting. Seketika ia
pun merangkul pundak Salman, "Insyaallah, aku siap menemanimu melamar
Jamilah," tegasnya pada Salman.
Sengaja
Salman meminta Darda guna menjadi pendampingnya untuk melamar Jamilah esok
hari. Karena Darda merupakan warga asli di lingkungan tempat tinggalnya, dan
tentu ia adalah orang yang paling dekat interaksinya dengan warga-warga
sekitar, termasuk pak Haji Sakti. Adapun Salman, ia merupakan warga pendatang
yang tinggal di tengah-tengah warga. Dan diantara adat masyarakat disitu,
seorang pendatang yang hendak melamar wanita penduduk asli, maka ia wajib
ditemani oleh penduduk asli pula; laki-laki atau perempuan. Dan Salman memilih
Darda; seorang sahabat yang hampir 3 tahun ini sudah dianggap sebagai kakak
kandungnya sendiri. Karakter pribadi Darda tidak jauh berbeda dengan karakter
pribadi Salman. Arwah (jamak dari kalimat ruh; arabiclanguage) adalah tentara
yang saling mengenal. Jika jasad saling berdekatan, maka akan langsung akrab
dan serasi.
#####
Keesokan
harinya, Salman dan Darda bersiap untuk mendatangi rumah pak Haji Sakti. Mereka
berjalan kaki menyusuri gang demi gang. Kurang lebih jarak rumah pak Haji Sakti
dengan rumah kontrakan Salman yaitu seperti membaca penuh surat Al A'la. Tidak
jauh. Dekat.
“Da,
menurut kamu, Jamilah bagaimana?” tanya Salman di tengah perjalanan, “Kamu kan
sudah lama mengenalnya,” lanjutnya.
“Aku
memang sudah lama mengenalnya, tapi aku tidak begitu dekat dengannya man. Ya
kamu tahu sendiri dong, agama kita kan melarang untuk dekat-dekat dengan wanita
bukan mahrom,” terang Darda.
“Yah
ela Da, ko’ malah ceramah sih,” ucap Salman seraya menepuk jidatnya.
“Hehehe,
iya man, santai!” Darda cengengesan, “Jamilah itu bagai purnama di antara
bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya bisa dipandang dari kejauhan. Tak
sembarang orang bisa mendekatinya, bagai bunga jempa yang mekar di Aceh,
dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan memetiknya hanyalah orang khusus
yang sudah mendapat izin resmi dari yang kuasa,” ungkap Darda puitis.
“Subhanallaahhh…
bahasamu itu loh, kayak pujangga,” puji Salman, “Sepertinya dalem banget yah kamu
mengilustrasikan pribadi Jamilah,” kemudian curiga Salman.
Mendengar
itu, seketika Darda terdiam. Ia sendiri pun tak sadar bisa mengungkap kata
sedemikian dalam. Ia terbawa perasaan hati. Jangan-jangan Darda pun menaruh hati kepada Jamilah,
“Astaghfirullah, astaghfirullah,” lirih Darda.
“Kenapa
Da?” tanya Salman.
“Afwan
man, aku terlalu berlebihan,” jelas Darda, “Ya sudahlah, nanti juga kamu tahu
sendiri, kamu kan akan menikahinya,” lanjutnya.
Salman
dan Darda pun melanjutkan langkah kakinya. Sebelumnya Darda sudah memberi tahu
pak Haji Sakti bahwa sahabatnya Salman akan melamar puteri beliau. Dan beliau
menanggapinya dengan senang hati, karena memang pak Haji Sakti sangat menyukai
pribadi Salman yang baik dan sopan. Tapi pak Haji Sakti bukanlah orang tua yang
senang mengedepankan kehendaknya sendiri, sehingga beliau mempersilahkan Darda
membawa Salman ke rumah beliau, supaya semuanya berjalan sesuai dengan proses
antar satu sama lain. Dan semua pihak yang bersangkutan bisa terlibat dalam
mengambil keputusan. Termasuk Jamilah sendiri sebagai objek yang akan dilamar;
menerima atau menolak.
#####
Di
rumah pak Haji Sakti.
“Jamilah,
insyaallah pagi ini akan ada pemuda yang ingin melamarmu, namanya Salman,
sahabatnya Darda, orang pendatang itu loh, kamu sudah kenal,” kata pak Haji
Sakti kepada puterinya Jamilah.
“Alhamdulillah,
iya abi, kemarinkan abi sudah bilang, kalau begitu dipersilahkan saja supaya mereka segera datang. Jamilah sudah tahu ko’
orangnya, tapi Jamilah tidak begitu kenal,” terang Jamilah.
“Ya
kalau sudah menikah, pasti nanti kamu akan mengenalnya sendiri,” harap pak Haji
Sakti.
“Iya
abi, insyaallah jika memang itu terjadi, kan Jamilah belum memutuskan,” ucap
Jamilah.
Pak
Haji Sakti menjadi heran dengan ucapan puterinya tersebut. Nadanya terdengar
seakan ia tidak suka dengan Salman. Tapi kenapa ia setuju dengan kedatangan
Salman untuk melamarnya. Pak Haji Sakti tampak bingung. Beliau menggelengkan
kepalanya. Pelan.
“Assalamu’alaikum,”
tiba-tiba terdengar ucap salam dari luar rumah, “Assalamu’alaikum,” terdengar lagi.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah wabarakatuh,” jawab pak Haji Sakti seraya berjalan ke arah pintu
depan rumah. Kemudian membukanya, “Alhamdulillah, kalian sudah datang, ayo
silahkan masuk!” pak Haji Sakti mempersilahkan. Ternyata yang mengucap salam adalah
Salman dan Darda. Mereka sudah sampai di kediaman Jamilah.
Dag
dig dug dag dig dug. Tiba-tiba dada Salman berdebar-debar. Keringat dingin
mulai mengucur. Kakinya pun bergetar. Tangannya sesemuatan. Dan mulutnya terasa
kaku.
“Umi,
kesini mi, ada tamu spesial nih,” seru pak Haji Sakti memanggil istrinya,
“Sambil bawa minum dan hidangan yah mi,” perintahnya kemudian.
“Iya
bi, abi cerewet ih,” sahut istrinya dari dapur.
Salman
dan Darda tersenyum menyaksikan canda harmonis sepasang kekasih yang sudah menua.
Ternyata, usia tua bukanlah alasan atas ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Justru, semakin menua dalam jalinan cinta, maka semakin harmonislah hubungan
rumahtangga. Ya seharusnya begitu. Right!
#####
Sedari
tadi Salman hanya diam. Tak berbicara sepatah kata pun. Mungkin ia grogi dan
malu. Atau, ia sedang merangkai kata yang pas untuk diutarakan di hadapan pak
Haji Sakti.
“Alhamdulillah,
bapak merasa terhormat dengan kedatangan 2 pemuda seperti kalian,” pak Haji
Sakti memulai obrolan.
“Alhamdulillah,
justru kami lah yang merasa terhormat karena sudah diizinkan untuk datang dan
bertamu ke rumah bapak,” ucap Darda.
“Begini
pak, sebagaimana yang sudah saya kabarkan bahwa sahabat saya ini ingin melamar
puteri bapak, yaitu neng Jamilah,” Darda mengutarakan maksud inti kedatangannya
dengan Salman.
Salman
tersenyum seraya menganggukkan kepalanya di hadapan pak Haji Sakti, “Iya pak,
betul apa yang diutarakan Darda,” kemudian ucapnya.
“Alhamdulillah,
itu adalah maksud yang sangat mulia, tapi bapak harap, proses pernikahannya
nanti harus segera dilaksanakan, karena bapak tidak mau ada hubungan terlarang
antara puteri bapak dengan nak Salman,” terang pak Haji Sakti.
“Sssst,
bapak gak boleh gitu,” sanggah ibu seraya menyikut pak Haji Sakti, “Jamilah kan
belum memutuskan,” lanjut ibu yang seakan merahasiakan sesuatu.
“Ibu
ini bicara apa?” heran pak Haji Sakti.
“Tenang
saja pak, bu, ini aku sudah membawa mahar untuk Jamilah sebagai bukti bahwa aku
serius ingin menikahinya,” potong Salman seraya menyodorkan mahar yang
dibawanya; cincin dan kalung emas beserta seperangkat alat sholat, yang
nilainya mencapai puluhan juta rupiah.
“Masyaallah,
bapak jadi gak enak,” lirih pak Haji Sakti, “Apa ini gak berlebihan nak
Salman?” tanya beliau kemudian.
“Insyaallah
tidak pak,” jawab Salman singkat.
Sebenarnya,
dari tadi Salman nampak seperti orang yang kehilangan sesuatu. Matanya melarak
sana-sini. Ia tidak mendapati Jamilah.
Eh
ternyata, adat masyarakat disitu tidak membolehkan seorang wanita langsung
dinazhor oleh seorang lelaki yang melamarnya, kecuali jika si wanita positif
menerima. Oleh karenanya, Jamilah disembunyikan di balik tembok ruang tamu, dan
ia dibiarkan mendengar obrolan antara si pelamar dan keluarganya.
“Baiklah
kalau begitu, bapak mohon izin untuk meminta keputusan Jamilah,” ucap pak Haji
Sakti seraya bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke belakang tembok
ruang tamu. Dan ibu ikut menyertainya.
#####
Setelah
pak Haji Sakti berbicara dan berdiskusi dengan puterinya, Jamilah, beliau
kembali menemui Salman dan Darda. Tapi kali ini wajah pak Haji Sakti tampak
berbeda dari sebelumnya. Di samping itu, Salman sudah sangat bersiap menerima
apa pun jawaban dan keputusan Jamilah. Karena memang Salman sudah mempelajari
adab dan tatakrama seorang pelamar ketika melamar. Bahwa seorang pelamar tidak
memiliki hak apa pun untuk memaksa, apalagi melakukan tindak kecurangan,
seperti menyogok orang tua dengan uang atau kemewahan, dan atau dengan
mengancam ancaman kriminal. Tidak. Salman bukan pemuda yang seperti itu.
Pernikahan adalah ibadah, segala prosesnya harus bernilai positif dan halal.
“Nak
Salman, sebenarnya bapak merasa berat mengungkapkan hal ini,” tutur pelan pak
Haji Sakti, “Awalnya bapak yakin, Jamilah pasti menerima nak Salman, tapi
ternyata, Jamilah lebih memilih lelaki lain,” kemudian terang pak Haji Sakti.
“La
haula wa la quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya melainkan atas izin
Allah,” sambil menghela nafas Salman mengucap kalimat haulah. Dalam. Darda yang
berada di sampingnya langsung merangkul pundak Salman seraya mengusap-usapnya,
“Allah lebih tahu yang terbaik untukmu man,” bisiknya kemudian di telinga
Salman.
“Tapi
maaf pak, jika memang Jamilah tidak menerimaku, lalu kenapa itu tidak
disampaikan dari kemarin?” tanya heran Salman.
“Itu
dia nak Salman, yang membuat bapak bingung,” jawab pak Haji Sakti, “Kemarin,
Jamilah mengatakan, ‘iya pak, suruh saja mereka datang’, bapak pikir ini adalah
lampu hijau untuk nak Salman,” terang beliau kemudian.
“Baiklah
pak, terimakasih sudah mengizinkan kami datang, sepertinya kami langsung pamit
undur diri saja pak,” ucap Salman yang nampak kecewa. Tak terbayang entah
seperti apa kondisi hatinya. Kalau dadanya di belah, mungkin hatinya sudah
seperti kerupuk angin. Creces.
“Tunggu
dulu,” cegah pak Haji Sakti, “Nak Darda, apakah kedatangan nak Darda hanya
sekedar menemani nak Salman?” tanya beliau.
Salman
dan Darda saling pandang, merasa heran dengan pertanyaan pak Haji Sakti.
Seharusnya beliau sudah mengetahui hal itu.
“Maksud
bapak?” Darda balik bertanya.
“Maksud
bapak, apakah nak Darda memiliki keperluan yang sama seperti nak Salman?” tanya
lagi pak Haji Sakti.
Untuk
kedua kalinya Salman dan Darda saling pandang. Lebih dalam. Mulut keduanya menganga.
Hah!
Darda
memang sudah lama mengenal Jamilah. Tapi kedatangannya saat ini, hanyalah
sekedar menemani sahabatnya, yaitu Salman. Tak ada niatan sedikit pun untuk
melamar Jamilah. Dan Salman yang di sampingnya, mulai mengingat kembali untaian kata, yang pernah diungkap Darda saat menggambarkan pribadi Jamilah,
“Jamilah itu bagai purnama di antara bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya
bisa dipandang dari kejauhan. Tak sembarang orang bisa mendekatinya, bagai
bunga jempa yang mekar di Aceh, dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan
memetiknya hanyalah orang khusus yang sudah mendapat izin resmi dari yang
kuasa.”
Salman
pun mulai memahami, bahwa Darda sepertinya telah lama menaruh hati pada
Jamilah, puteri pak Haji Sakti. Tapi dia merahasiakan hal itu, terlebih saat
Salman berniat melamar Jamilah.
“Jamilah
sepertinya lebih memilih nak Darda untuk menjadi pendamping hidupnya,”
tiba-tiba pak Haji Sakti mengungkapkan kalimat yang bagai petir menyambar.
Tepat menyambar dada Salman. Menembus sampai ke ulu hati.
“Apa?”
seru Salman bertanya, seraya menoleh ke arah Darda dan menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Astaghfirullah,
kenapa jadi begini? Seharusnya pak Haji Sakti tidak mengungkap hal ini
sekarang. Aduh, ini tidak tepat. Kacau,” bisik Darda dalam hatinya. Entah, ia
tidak tahu bakal jadi apa persahabatannya dengan Salman. Ia sendiri pun tidak
pernah mengira akan jadi begini situasinya. Terlebih, ia merasa tidak percaya
bahwa Jamilah lebih memilih dirinya ketimbang sahabatnya, Salman. Memang ada
rasa bahagia. Tapi di sisi lain, dia merasa tak enak hati dengan Salman.
“Darda,”
Salman mengelus pundak Darda, seraya menghela nafas. Dalam. Sangat dalam.
Kemudian ia merubah posisi duduknya, mencari posisi tenang.
“Iya
man,” sahut Darda dengan kepala merunduk. Ia merasa telah menghianati
sahabatnya tersebut. Padahal sebenarnya, Darda sama sekali tidak berniat
demikian. Ini terjadi begitu saja, secara spontanitas. Tanpa direncanakan
sebelumnya.
“Bismillah,”
ucap Salman membaca basmalah, “Darda, bagiku kamu lebih dari sekedar sahabat,
kamu adalah saudara. Ini, ambillah seluruh maharku! Lamar Jamilah sekarang
juga,” lanjutnya seraya menyodorkan mahar yang awalnya dia siapkan untuk
Jamilah, “Saudaraku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga,” lanjut Salman.
Seketika
Darda langsung memeluk Salman. Dengan penuh rasa bersalah ia berucap, “Maafkan
aku man, maafkan aku,” air mata Darda berderai, begitu pula air mata Salman.
Keduanya saling berpelukan. Sungguh mengharukan. Bahkan pak Haji Sakti dan
istrinya pun ikut menangis. Haru. Dan di balik tembok ruang tamu, terdengar
pula isak tangis. Ya, Jamilah pun ikut menangis, mendengarkan percakapan
tersebut.
Subhanallah
walhamdulillah. Sungguh betapa luarbiasa apa yang Allah tampakkan bagi kita,
yaitu keteladanan yang begitu indah.
Salman
dan Darda, merupakan teladan luarbiasa yang patut untuk dicontoh bagi segenap
manusia. Persahabatan mereka begitu dalam. Mengakar. Tumbuh berkembang.
Berbunga. Berbuah. Memekarkan tali perasudaraan yang harmonis. Masyaallah
tabarakallah.
Darda, menyimpan dan merahasiakan perasaannya.
Salman, dengan seketika, rasa kecewanya berubah dengan rasa keinginan untuk berbagi.
Dan Allah menghendaki segala sesuatunya. Allaahu akbar!
“Cerpen
ini terinspirasi dari kisah nyata 2 sahabat mulia Salman al Farisi dan Abu
Darda al Anshori radiyallahu ‘anhuma.