Dahulu,
aku pernah durjana
Hidup
dalam keterasingan, dibenci dan dijauhi oleh banyak orang
Tapi
tidak dengan keluargaku, mereka rela menahan malu dan menanggung cibiran
Sering
aku melihat airmata berjatuhan dari wajah ibu-bapakku
Mereka
tak pernah bosan menasehatiku dan memintaku supaya berubah
Aku
sendiri kacau dan bingung, aku tahu, tak seharusnya aku begini
Aku
hanya lah anak remaja yang kala itu tidak tahu apa-apa
Inginnya
bermain dan keluyuran kesana-kemari, tak tahu waktu dan tempat
Bergaya
semaunya dan bergaul seenaknya, tak tahu aturan dan adab
Asal
aku bisa bahagia dan bergembira seria-rianya, itu saja
Tapi
bodoh, aku lupa, aku tidak sadar, bahwa bahagia dan gembiraku itu justru
menjadi pisau yang menyayat hati ibu-bapakku
Aku
tidak tahu, entah seperti apa rasa malu itu
Sehingga
aku acuh saja, tak mau peduli bagaimana ibu-bapak menanggung rasa malu oleh
sebab kenakalanku yang seperti sampah berserakan di masyarakat
Tapi
bersyukur satu hal, walau betapa kala itu aku durjana
Alhamdulillah,
aku selalu menjaga shalat, inilah yang selalu bapak tekankan kepadaku
Setiapkali
aku pulang ke rumah, jumpa dengan bapak, maka yang keluar dari mulut bapak
adalah “sudah shalat belum?” bukan “sudah makan belum?”
Aku
sempat kesal dan jengkel dengan pertanyaan yang aku anggap konyol kala itu
Lalu
tahulah kini, bahwa betapa sayangnya bapak kepadaku, bukan perutku yang jadi
prioritas utama perhatian bapak, tetapi agamaku, ya agamaku, tuhanku
Aku
tahu bahwa ibu-bapakku tidak pernah berhenti mendoakan kebaikan untukku
Sehingga
datang waktu dimana aku bagai ulat yang kemudian menjadi kepompong
Aku
digodok habis, masuk penjara suci (pesantren), itulah awal mula aku merasakan
panas telinga
Tak
henti-hentinya aku mendengarkan celoteh nasihat para ustadz dan guru
Awalnya
sumeh, udik, membosankan, tapi lama-lama aku merasa nyaman, ada desir kedamaian
merasuk ke hati, jiwaku sejuk, aku merasakan ada Dzat besar yang sedang
memperhatikanku
Disitulah
aku tahu betapa pentingnya mendengarkan nasihat, sebab disitulah seakan Allah
berbisik lembut, “hai hambaKu, waktunya berubah untuk jadi lebih baik.”
Pesantren
sedikit demi sedikit membangunkan nilai spiritualitas yang menakjubkan ke dalam
jiwaku
Aku
merasakan adanya kekuatan besar untuk aku bernaung, bergantung, berharap dan
berjuang; Dia lah Allah Ash Shamad
Aku
seperti sedang didesain untuk menjadi sosok baru, ibarat besi berkarat yang
hendak dimasukkan ke perapian, untuk kemudian menjadi mengkilap, tajam,
mematikan
Oh,
entah sudah seberapa berkaratnya diri ini?!
Waktu
terus berlalu, sampai ahirnya aku bisa melangkah sejauh ini, alhamdulillah
Banyak
hal hebat yang aku alami, sungguh ini adalah anugerah istimewa dariNya, aku
bersyukur dan memujiNya sesuai dengan keagungan dan kekuasaanNya
TanpaNya,
aku kacau berantakan, seperti puing-puing bangunan, hanya menyampah dan
mendebu, tak dapat menaungi, apalagi melindungi, malah bikin mata orang lain
sakit, batuk-batuk, bahkan mungkin TBC
Namun
bersamaNya, semua jadi serba ajaib dan menakjubkan, barangkali memang aku tak
terlihat seperti bangunan megah dan mewah, tapi kemarilah aku tunjukan sebuah
kenyamanan yang tak bisa dibeli dengan dunia dan seisinya
#Inspirasi
Qur'ani
Ketika
pasukan Fir’aun dan balatentaranya hampir menyusul Musa dan pengikutnya, maka
para pengikutnya berteriak ketakutan,
“Sesungguhnya
kita semua akan disergap.”
Namun
Musa tetap tenang, dengan yakin dan penuh tawakkal, dia berucap,
“SESUNGGUHNYA
RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”
Oleh
sebab ketenangan, keyakinan dan ketawakkalannya, maka seketika itu juga
turunlah wahyu,
“(Wahai
Musa) Pukul lah laut itu dengan tongkatmu! Maka laut pun terbelah..” (Asy
Syu’ara : 61-63)
“SESUNGGUHNYA
RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”
#Note
Jakarta, 11 Agustus 2016