Rabu, 24 Agustus 2016

Durjana Yang Mendapat Petunjuk



Dahulu, aku pernah durjana
Hidup dalam keterasingan, dibenci dan dijauhi oleh banyak orang
Tapi tidak dengan keluargaku, mereka rela menahan malu dan menanggung cibiran
Sering aku melihat airmata berjatuhan dari wajah ibu-bapakku
Mereka tak pernah bosan menasehatiku dan memintaku supaya berubah
Aku sendiri kacau dan bingung, aku tahu, tak seharusnya aku begini

Aku hanya lah anak remaja yang kala itu tidak tahu apa-apa
Inginnya bermain dan keluyuran kesana-kemari, tak tahu waktu dan tempat
Bergaya semaunya dan bergaul seenaknya, tak tahu aturan dan adab
Asal aku bisa bahagia dan bergembira seria-rianya, itu saja
Tapi bodoh, aku lupa, aku tidak sadar, bahwa bahagia dan gembiraku itu justru menjadi pisau yang menyayat hati ibu-bapakku
Aku tidak tahu, entah seperti apa rasa malu itu
Sehingga aku acuh saja, tak mau peduli bagaimana ibu-bapak menanggung rasa malu oleh sebab kenakalanku yang seperti sampah berserakan di masyarakat

Tapi bersyukur satu hal, walau betapa kala itu aku durjana
Alhamdulillah, aku selalu menjaga shalat, inilah yang selalu bapak tekankan kepadaku
Setiapkali aku pulang ke rumah, jumpa dengan bapak, maka yang keluar dari mulut bapak adalah “sudah shalat belum?” bukan “sudah makan belum?”
Aku sempat kesal dan jengkel dengan pertanyaan yang aku anggap konyol kala itu
Lalu tahulah kini, bahwa betapa sayangnya bapak kepadaku, bukan perutku yang jadi prioritas utama perhatian bapak, tetapi agamaku, ya agamaku, tuhanku

Aku tahu bahwa ibu-bapakku tidak pernah berhenti mendoakan kebaikan untukku
Sehingga datang waktu dimana aku bagai ulat yang kemudian menjadi kepompong
Aku digodok habis, masuk penjara suci (pesantren), itulah awal mula aku merasakan panas telinga
Tak henti-hentinya aku mendengarkan celoteh nasihat para ustadz dan guru
Awalnya sumeh, udik, membosankan, tapi lama-lama aku merasa nyaman, ada desir kedamaian merasuk ke hati, jiwaku sejuk, aku merasakan ada Dzat besar yang sedang memperhatikanku
Disitulah aku tahu betapa pentingnya mendengarkan nasihat, sebab disitulah seakan Allah berbisik lembut, “hai hambaKu, waktunya berubah untuk jadi lebih baik.”

Pesantren sedikit demi sedikit membangunkan nilai spiritualitas yang menakjubkan ke dalam jiwaku
Aku merasakan adanya kekuatan besar untuk aku bernaung, bergantung, berharap dan berjuang; Dia lah Allah Ash Shamad
Aku seperti sedang didesain untuk menjadi sosok baru, ibarat besi berkarat yang hendak dimasukkan ke perapian, untuk kemudian menjadi mengkilap, tajam, mematikan

Oh, entah sudah seberapa berkaratnya diri ini?!

Waktu terus berlalu, sampai ahirnya aku bisa melangkah sejauh ini, alhamdulillah
Banyak hal hebat yang aku alami, sungguh ini adalah anugerah istimewa dariNya, aku bersyukur dan memujiNya sesuai dengan keagungan dan kekuasaanNya
TanpaNya, aku kacau berantakan, seperti puing-puing bangunan, hanya menyampah dan mendebu, tak dapat menaungi, apalagi melindungi, malah bikin mata orang lain sakit, batuk-batuk, bahkan mungkin TBC
Namun bersamaNya, semua jadi serba ajaib dan menakjubkan, barangkali memang aku tak terlihat seperti bangunan megah dan mewah, tapi kemarilah aku tunjukan sebuah kenyamanan yang tak bisa dibeli dengan dunia dan seisinya

#Inspirasi Qur'ani
Ketika pasukan Fir’aun dan balatentaranya hampir menyusul Musa dan pengikutnya, maka para pengikutnya berteriak ketakutan,

“Sesungguhnya kita semua akan disergap.”

Namun Musa tetap tenang, dengan yakin dan penuh tawakkal, dia berucap,

“SESUNGGUHNYA RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”

Oleh sebab ketenangan, keyakinan dan ketawakkalannya, maka seketika itu juga turunlah wahyu,

“(Wahai Musa) Pukul lah laut itu dengan tongkatmu! Maka laut pun terbelah..” (Asy Syu’ara : 61-63)

“SESUNGGUHNYA RABB-KU BERSAMAKU, DIA PASTI AKAN MEMBERIKU PETUNJUK.”

#Note Jakarta, 11 Agustus 2016