Jumat, 14 Agustus 2015

Jangan Tinggalkan Shalat!


Sholat 5 waktu tidak boleh ditinggalkan bagaimana pun keadaan. Dalam keadaan sakit, bepergian, atau peperangan. Kecuali wanita yang sedang berhalangan.

Oleh karenanya, orang yang mengetahui kewajiban sholat 5 waktu, lalu dengan sengaja meninggalkannya.
Maka ia dihukumi kafir, tidak boleh disholati jenazahnya, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Atau ia tetap dihukumi sebagai muslim, tapi wajib dibunuh, dipancung atau digantung jika dia enggan bertaubat.

Orang yang meninggalkan sholat karena lupa, maka dia wajib melaksanakannya ketika dia ingat. Misalkan saudari meninggalkan sholat dzuhur karena lupa, kemudian saudari ingat di waktu sore, maka wajib bagi saudari melaksanakan sholat dzuhur di waktu tersebut. Atau ingatnya di waktu malam, maka saudari wajib melaksanakan sholat dzuhur di waktu tersebut. Karena Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "barangsiapa yang lupa mengerjakan sholat, maka dia wajib mengerjakannya ketika dia ingat."


Tidak ada bayar fidyah bagi orang yang meninggalkan sholat. Adapun orang-orang yang dengan sengaja meninggalkan sholat bertahun-tahun misalkan. Kemudian ia sadar dan bertaubat. Maka cukup baginya bersungguh-sungguh dalam taubatnya dengan selalu mengerjakan sholat 5 waktu dan menambahinya dengan sholat-sholat sunnah. Karena sesungguhnya orang yang dengan sungguh-sungguh bertaubat dan ikhlas ingin memperbaiki diri, maka dia seperti orang yang bersih tidak ada dosa.

Simpang Jodoh; #Salman# dan Jamilah.


Saat hasrat ingin menikah mulai timbul, dan didukung dengan adanya kemampuan ba'ah (materi dan batini), maka menikah harus disegerakan, tak boleh ditunda atau diulur sampai nanti-nanti. Sebab hawatir jika tidak disegerakan, syaithan akan membuat tipu daya dan makar yang menyesatkan.

Demikianlah yang saat ini sedang dialami oleh Salman; seorang pemuda rantauan yang usianya sudah sangat pas untuk segera menyempurnakan agamanya, yaitu dengan menikah. Di usianya yang 25 tahun, ia terbilang sebagai seorang pemuda pendatang yang sukses di kota A. Banyak orang yang menghormati dan mencintainya, bahkan ia sudah dianggap sebagai saudara atau penduduk asli kota A tsb. Mengingat betapa santun akhlaknya, luhur pekertinya, senang membantu, dan penyayang terhadap sesama.

"Sepertinya aku harus menikah," tutur Salman kepada sahabatnya Darda yang usianya lebih tua 2 tahun darinya.

"Wah, betul itu!" Ucap Darda seraya mengacungkan jempolnya, "bahkan wajib bagi pemuda sepertimu," lanjutnya menepuk pundak Salman.

Salman dan Darda adalah 2 pemuda yang sudah lama menjalin persahabatan. Jika dilihat-lihat, mereka bagai adik-kakak. Sangat akrab dan sama-sama ganteng. Tidak hanya itu, mereka pun dikenal sebagai 2 pendekar Masjid. Karena keduanya lah Masjid-masjid di kota A menjadi makmur dengan berbagai macam kegiatan. Khususnya pada momen-momen penting Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut sering dihadiri oleh banyak muda-mudi muslim. Dan tak jarang, anggaran setiap kegiatan pun, mereka berdua yang mendonaturinya. Subhanallah, betapa beruntung 2 pemuda tersebut. Allah subhanahu wa ta'ala telah mengaruniakan pada keduanya kekayaan hati dan kekayaan materi. Dan anugerah terbesarnya; mereka berdua saling bersahabat. Klop markotop.

#####

"Da, kamu mau menemaniku?" Tanya Salman kepada Darda.

"Usah bertanya begitu! Langsung kamu ajak pun, aku pasti mau," tegas Darda.

"Insyaallah, besok aku mau melamar seorang wanita," ucap Salman.

"Kenapa besok? Sekarang saja," rayu Darda, "Memangnya wanita mana yang mau kamu lamar?" Lanjutnya bertanya.

"Itu loh, pak Haji Sakti," ceplos salman.

"Astaghfirullah, inna lillah... yang benar saja dong man?!" Seru Darda terkejut seraya mengelus-elus dadanya, "Kamu mau melamar pak Haji Sakti?!" Lanjutnya heran penuh tanya.

"Aduh, sorry. Maksud aku, puterinya pak Haji Sakti; Nur Jamilah," menyebut nama itu, seketika wajah Salman memerah, "Bagaimana?" Lanjutnya bertanya kepada Darda.

"Istimewa sekali pilihanmu man," ucap Darda dengan senyuman suporting. Seketika ia pun merangkul pundak Salman, "Insyaallah, aku siap menemanimu melamar Jamilah," tegasnya pada Salman.

Sengaja Salman meminta Darda guna menjadi pendampingnya untuk melamar Jamilah esok hari. Karena Darda merupakan warga asli di lingkungan tempat tinggalnya, dan tentu ia adalah orang yang paling dekat interaksinya dengan warga-warga sekitar, termasuk pak Haji Sakti. Adapun Salman, ia merupakan warga pendatang yang tinggal di tengah-tengah warga. Dan diantara adat masyarakat disitu, seorang pendatang yang hendak melamar wanita penduduk asli, maka ia wajib ditemani oleh penduduk asli pula; laki-laki atau perempuan. Dan Salman memilih Darda; seorang sahabat yang hampir 3 tahun ini sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri. Karakter pribadi Darda tidak jauh berbeda dengan karakter pribadi Salman. Arwah (jamak dari kalimat ruh; arabiclanguage) adalah tentara yang saling mengenal. Jika jasad saling berdekatan, maka akan langsung akrab dan serasi.

#####

Keesokan harinya, Salman dan Darda bersiap untuk mendatangi rumah pak Haji Sakti. Mereka berjalan kaki menyusuri gang demi gang. Kurang lebih jarak rumah pak Haji Sakti dengan rumah kontrakan Salman yaitu seperti membaca penuh surat Al A'la. Tidak jauh. Dekat.

“Da, menurut kamu, Jamilah bagaimana?” tanya Salman di tengah perjalanan, “Kamu kan sudah lama mengenalnya,” lanjutnya.

“Aku memang sudah lama mengenalnya, tapi aku tidak begitu dekat dengannya man. Ya kamu tahu sendiri dong, agama kita kan melarang untuk dekat-dekat dengan wanita bukan mahrom,” terang Darda.

“Yah ela Da, ko’ malah ceramah sih,” ucap Salman seraya menepuk jidatnya.

“Hehehe, iya man, santai!” Darda cengengesan, “Jamilah itu bagai purnama di antara bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya bisa dipandang dari kejauhan. Tak sembarang orang bisa mendekatinya, bagai bunga jempa yang mekar di Aceh, dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan memetiknya hanyalah orang khusus yang sudah mendapat izin resmi dari yang kuasa,” ungkap Darda puitis.

“Subhanallaahhh… bahasamu itu loh, kayak pujangga,” puji Salman, “Sepertinya dalem banget yah kamu mengilustrasikan pribadi Jamilah,” kemudian curiga Salman.

Mendengar itu, seketika Darda terdiam. Ia sendiri pun tak sadar bisa mengungkap kata sedemikian dalam. Ia terbawa perasaan hati.  Jangan-jangan Darda pun menaruh hati kepada Jamilah, “Astaghfirullah, astaghfirullah,” lirih Darda.

“Kenapa Da?” tanya Salman.

“Afwan man, aku terlalu berlebihan,” jelas Darda, “Ya sudahlah, nanti juga kamu tahu sendiri, kamu kan akan menikahinya,” lanjutnya.

Salman dan Darda pun melanjutkan langkah kakinya. Sebelumnya Darda sudah memberi tahu pak Haji Sakti bahwa sahabatnya Salman akan melamar puteri beliau. Dan beliau menanggapinya dengan senang hati, karena memang pak Haji Sakti sangat menyukai pribadi Salman yang baik dan sopan. Tapi pak Haji Sakti bukanlah orang tua yang senang mengedepankan kehendaknya sendiri, sehingga beliau mempersilahkan Darda membawa Salman ke rumah beliau, supaya semuanya berjalan sesuai dengan proses antar satu sama lain. Dan semua pihak yang bersangkutan bisa terlibat dalam mengambil keputusan. Termasuk Jamilah sendiri sebagai objek yang akan dilamar; menerima atau menolak.

#####

Di rumah pak Haji Sakti.

“Jamilah, insyaallah pagi ini akan ada pemuda yang ingin melamarmu, namanya Salman, sahabatnya Darda, orang pendatang itu loh, kamu sudah kenal,” kata pak Haji Sakti kepada puterinya Jamilah.

“Alhamdulillah, iya abi, kemarinkan abi sudah bilang, kalau begitu dipersilahkan saja supaya mereka segera datang. Jamilah sudah tahu ko’ orangnya, tapi Jamilah tidak begitu kenal,” terang Jamilah.

“Ya kalau sudah menikah, pasti nanti kamu akan mengenalnya sendiri,” harap pak Haji Sakti.

“Iya abi, insyaallah jika memang itu terjadi, kan Jamilah belum memutuskan,” ucap Jamilah.

Pak Haji Sakti menjadi heran dengan ucapan puterinya tersebut. Nadanya terdengar seakan ia tidak suka dengan Salman. Tapi kenapa ia setuju dengan kedatangan Salman untuk melamarnya. Pak Haji Sakti tampak bingung. Beliau menggelengkan kepalanya. Pelan.   

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba terdengar ucap salam dari luar rumah, “Assalamu’alaikum,” terdengar lagi.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab pak Haji Sakti seraya berjalan ke arah pintu depan rumah. Kemudian membukanya, “Alhamdulillah, kalian sudah datang, ayo silahkan masuk!” pak Haji Sakti mempersilahkan. Ternyata yang mengucap salam adalah Salman dan Darda. Mereka sudah sampai di kediaman Jamilah.

Dag dig dug dag dig dug. Tiba-tiba dada Salman berdebar-debar. Keringat dingin mulai mengucur. Kakinya pun bergetar. Tangannya sesemuatan. Dan mulutnya terasa kaku.

“Umi, kesini mi, ada tamu spesial nih,” seru pak Haji Sakti memanggil istrinya, “Sambil bawa minum dan hidangan yah mi,” perintahnya kemudian.

“Iya bi, abi cerewet ih,” sahut istrinya dari dapur.

Salman dan Darda tersenyum menyaksikan canda harmonis sepasang kekasih yang sudah menua. Ternyata, usia tua bukanlah alasan atas ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Justru, semakin menua dalam jalinan cinta, maka semakin harmonislah hubungan rumahtangga. Ya seharusnya begitu. Right!

#####

Sedari tadi Salman hanya diam. Tak berbicara sepatah kata pun. Mungkin ia grogi dan malu. Atau, ia sedang merangkai kata yang pas untuk diutarakan di hadapan pak Haji Sakti.

“Alhamdulillah, bapak merasa terhormat dengan kedatangan 2 pemuda seperti kalian,” pak Haji Sakti memulai obrolan.

“Alhamdulillah, justru kami lah yang merasa terhormat karena sudah diizinkan untuk datang dan bertamu ke rumah bapak,” ucap Darda.

“Begini pak, sebagaimana yang sudah saya kabarkan bahwa sahabat saya ini ingin melamar puteri bapak, yaitu neng Jamilah,” Darda mengutarakan maksud inti kedatangannya dengan Salman.

Salman tersenyum seraya menganggukkan kepalanya di hadapan pak Haji Sakti, “Iya pak, betul apa yang diutarakan Darda,” kemudian ucapnya.

“Alhamdulillah, itu adalah maksud yang sangat mulia, tapi bapak harap, proses pernikahannya nanti harus segera dilaksanakan, karena bapak tidak mau ada hubungan terlarang antara puteri bapak dengan nak Salman,” terang pak Haji Sakti.

“Sssst, bapak gak boleh gitu,” sanggah ibu seraya menyikut pak Haji Sakti, “Jamilah kan belum memutuskan,” lanjut ibu yang seakan merahasiakan sesuatu.

“Ibu ini bicara apa?” heran pak Haji Sakti.

“Tenang saja pak, bu, ini aku sudah membawa mahar untuk Jamilah sebagai bukti bahwa aku serius ingin menikahinya,” potong Salman seraya menyodorkan mahar yang dibawanya; cincin dan kalung emas beserta seperangkat alat sholat, yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah.

“Masyaallah, bapak jadi gak enak,” lirih pak Haji Sakti, “Apa ini gak berlebihan nak Salman?” tanya beliau kemudian.

“Insyaallah tidak pak,” jawab Salman singkat.

Sebenarnya, dari tadi Salman nampak seperti orang yang kehilangan sesuatu. Matanya melarak sana-sini. Ia tidak mendapati Jamilah.

Eh ternyata, adat masyarakat disitu tidak membolehkan seorang wanita langsung dinazhor oleh seorang lelaki yang melamarnya, kecuali jika si wanita positif menerima. Oleh karenanya, Jamilah disembunyikan di balik tembok ruang tamu, dan ia dibiarkan mendengar obrolan antara si pelamar dan keluarganya.

“Baiklah kalau begitu, bapak mohon izin untuk meminta keputusan Jamilah,” ucap pak Haji Sakti seraya bangkit dari duduknya dan langsung berjalan ke belakang tembok ruang tamu. Dan ibu ikut menyertainya.

#####

Setelah pak Haji Sakti berbicara dan berdiskusi dengan puterinya, Jamilah, beliau kembali menemui Salman dan Darda. Tapi kali ini wajah pak Haji Sakti tampak berbeda dari sebelumnya. Di samping itu, Salman sudah sangat bersiap menerima apa pun jawaban dan keputusan Jamilah. Karena memang Salman sudah mempelajari adab dan tatakrama seorang pelamar ketika melamar. Bahwa seorang pelamar tidak memiliki hak apa pun untuk memaksa, apalagi melakukan tindak kecurangan, seperti menyogok orang tua dengan uang atau kemewahan, dan atau dengan mengancam ancaman kriminal. Tidak. Salman bukan pemuda yang seperti itu. Pernikahan adalah ibadah, segala prosesnya harus bernilai positif dan halal.

“Nak Salman, sebenarnya bapak merasa berat mengungkapkan hal ini,” tutur pelan pak Haji Sakti, “Awalnya bapak yakin, Jamilah pasti menerima nak Salman, tapi ternyata, Jamilah lebih memilih lelaki lain,” kemudian terang pak Haji Sakti.

“La haula wa la quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya melainkan atas izin Allah,” sambil menghela nafas Salman mengucap kalimat haulah. Dalam. Darda yang berada di sampingnya langsung merangkul pundak Salman seraya mengusap-usapnya, “Allah lebih tahu yang terbaik untukmu man,” bisiknya kemudian di telinga Salman.

“Tapi maaf pak, jika memang Jamilah tidak menerimaku, lalu kenapa itu tidak disampaikan dari kemarin?” tanya heran Salman.

“Itu dia nak Salman, yang membuat bapak bingung,” jawab pak Haji Sakti, “Kemarin, Jamilah mengatakan, ‘iya pak, suruh saja mereka datang’, bapak pikir ini adalah lampu hijau untuk nak Salman,” terang beliau kemudian.

“Baiklah pak, terimakasih sudah mengizinkan kami datang, sepertinya kami langsung pamit undur diri saja pak,” ucap Salman yang nampak kecewa. Tak terbayang entah seperti apa kondisi hatinya. Kalau dadanya di belah, mungkin hatinya sudah seperti kerupuk angin. Creces.

“Tunggu dulu,” cegah pak Haji Sakti, “Nak Darda, apakah kedatangan nak Darda hanya sekedar menemani nak Salman?” tanya beliau.

Salman dan Darda saling pandang, merasa heran dengan pertanyaan pak Haji Sakti. Seharusnya beliau sudah mengetahui hal itu.

“Maksud bapak?” Darda balik bertanya.

“Maksud bapak, apakah nak Darda memiliki keperluan yang sama seperti nak Salman?” tanya lagi pak Haji Sakti.

Untuk kedua kalinya Salman dan Darda saling pandang. Lebih dalam. Mulut keduanya menganga. Hah!

Darda memang sudah lama mengenal Jamilah. Tapi kedatangannya saat ini, hanyalah sekedar menemani sahabatnya, yaitu Salman. Tak ada niatan sedikit pun untuk melamar Jamilah. Dan Salman yang di sampingnya, mulai mengingat kembali untaian kata, yang pernah diungkap Darda saat menggambarkan pribadi Jamilah, “Jamilah itu bagai purnama di antara bintang-bintang, cantik menawan. Ia hanya bisa dipandang dari kejauhan. Tak sembarang orang bisa mendekatinya, bagai bunga jempa yang mekar di Aceh, dikurung dan dijaga, yang bisa menyentuh dan memetiknya hanyalah orang khusus yang sudah mendapat izin resmi dari yang kuasa.”

Salman pun mulai memahami, bahwa Darda sepertinya telah lama menaruh hati pada Jamilah, puteri pak Haji Sakti. Tapi dia merahasiakan hal itu, terlebih saat Salman berniat melamar Jamilah.

“Jamilah sepertinya lebih memilih nak Darda untuk menjadi pendamping hidupnya,” tiba-tiba pak Haji Sakti mengungkapkan kalimat yang bagai petir menyambar. Tepat menyambar dada Salman. Menembus sampai ke ulu hati.

“Apa?” seru Salman bertanya, seraya menoleh ke arah Darda dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Astaghfirullah, kenapa jadi begini? Seharusnya pak Haji Sakti tidak mengungkap hal ini sekarang. Aduh, ini tidak tepat. Kacau,” bisik Darda dalam hatinya. Entah, ia tidak tahu bakal jadi apa persahabatannya dengan Salman. Ia sendiri pun tidak pernah mengira akan jadi begini situasinya. Terlebih, ia merasa tidak percaya bahwa Jamilah lebih memilih dirinya ketimbang sahabatnya, Salman. Memang ada rasa bahagia. Tapi di sisi lain, dia merasa tak enak hati dengan Salman.

“Darda,” Salman mengelus pundak Darda, seraya menghela nafas. Dalam. Sangat dalam. Kemudian ia merubah posisi duduknya, mencari posisi tenang.

“Iya man,” sahut Darda dengan kepala merunduk. Ia merasa telah menghianati sahabatnya tersebut. Padahal sebenarnya, Darda sama sekali tidak berniat demikian. Ini terjadi begitu saja, secara spontanitas. Tanpa direncanakan sebelumnya.

“Bismillah,” ucap Salman membaca basmalah, “Darda, bagiku kamu lebih dari sekedar sahabat, kamu adalah saudara. Ini, ambillah seluruh maharku! Lamar Jamilah sekarang juga,” lanjutnya seraya menyodorkan mahar yang awalnya dia siapkan untuk Jamilah, “Saudaraku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga,” lanjut Salman.

Seketika Darda langsung memeluk Salman. Dengan penuh rasa bersalah ia berucap, “Maafkan aku man, maafkan aku,” air mata Darda berderai, begitu pula air mata Salman. Keduanya saling berpelukan. Sungguh mengharukan. Bahkan pak Haji Sakti dan istrinya pun ikut menangis. Haru. Dan di balik tembok ruang tamu, terdengar pula isak tangis. Ya, Jamilah pun ikut menangis, mendengarkan percakapan tersebut.

Subhanallah walhamdulillah. Sungguh betapa luarbiasa apa yang Allah tampakkan bagi kita, yaitu keteladanan yang begitu indah.

Salman dan Darda, merupakan teladan luarbiasa yang patut untuk dicontoh bagi segenap manusia. Persahabatan mereka begitu dalam. Mengakar. Tumbuh berkembang. Berbunga. Berbuah. Memekarkan tali perasudaraan yang harmonis. Masyaallah tabarakallah.

Darda, menyimpan dan merahasiakan perasaannya.
Salman, dengan seketika, rasa kecewanya berubah dengan rasa keinginan untuk berbagi. 
Dan Allah menghendaki segala sesuatunya. Allaahu akbar!

“Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata 2 sahabat mulia Salman al Farisi dan Abu Darda al Anshori radiyallahu ‘anhuma.

Kamis, 13 Agustus 2015

Obrolan Adalah Nasihat


Waktu di jakarta, ada salah seorang sahabat yang biasa ngobrol bersama. Setiap giliran aku ngobrol, dia pasti berkata kepadaku, "Kamu mah ceramah terus."

Besoknya mengobrol lagi, dan dia berkata, "Tuh kan! Lagi-lagi ceramah."

Hari berikutnya mengobrol lagi, dan dia berkata, "Kamu mau ngobrol apa mau ceramahan?"

Ahirnya aku menjelaskan,
"Memang seperti inilah obrolanku."

*Terkadang seseorang hanya terbiasa mendengar ayat-ayat Al Qur'an atau hadits-hadits pada saat ceramahan, khutbah, pengajian atau semacamnya. Sehingga ketika hal itu muncul di saat/ di tengah-tengah obrolan, maka hal itu dianggap asing dan tabu. Aneh.

Padahal ada riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang wanita sholihah yang jikalau dia bicara, maka bicaranya itu adalah Al Qur'an.

Dan riwayat lain menyebutkan bahwa Imam Hasan al Bashri rahimahullah, bicara beliau adalah seperti bicaranya para nabi; saking penuh hikmahnya.


Maka hendaklah setiap kita memiliki pembicaraan ibarat air segar nan jernih yang siap diteguk oleh orang lain; segar menghilangkan dahaga dan jernih mengentaskan kerontang.

Semoga Mencerahkan; Percakapan Kakak (Encep Abdullah) & Adik (Izzatullah Abduh)


Kakak : “Takdir adalah sistem (pilihan), kau yang memilih mau jadi apa, baik atau buruk. (Quraish Shihab)”

Adik : “Sungguh celaka! Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq (mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya. Kemudian soal perkataan bapak quraisy syihab, maka sesungguhnya perlu diteliti lagi, karena mengingat betapa banyak pendapat atau perkataan beliau yang bersebrangan dengan ajaran yang sahih dari nabi sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat radiyallahu 'anhum dan para tabi'in rahimahumullah. Kita memang dibolehkan mengambil ilmu dari mana pun sumbernya selagi itu sesuai dengan ajaran islam. Adapun ilmu yang bersebrangan dengan ajaran islam, maka itu bukanlah ilmu, akan tetapi kejahilan (kebodohan). Wallahu ta'ala a'lam. Semoga Allah memberi pemahaman yang baik kepada kita dan mengampuni segala kekeliruan dan kekhilafan kita. Innahu huwal ghafuurur rahiim.”

Kakak“Sepertinya salah sekali saya mengutip kata-kata itu dari QS, padahal bukan sebuah kesesatan atau persoalan personal dari QS yang saya maksud dan diuraikan di sini. pikiran-pikiran anda masih bertumpu pada wilayah personal. mari baca penjelasan beliau dengan teliti dan penuh kesabaran. untuk persolan menguraikan takdir, saya hanya menangkap isi dari apa yang disampaikan, bila pun keliru (itu karena kekeliruan dan kebodohan saya yang menyimpulkan) bukan dari Pak Quraish Shihab. Mohon dipertimbangkan lagi pendapat saudara.

"Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq (mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya."

Ukuran orang yang mumpuni masalah takdir itu seperti apa? kalau mendengarkan kajian beliau selama satu jam (QS), beliau sangat mumpuni dan pernyataan beliau sangat relevan dengan Alquran. Sungguh gegabah bila Anda hanya membuat pernyataan demikian tanpa tahu penjelasan beliau. Barangkali bila kata-kata di status itu salah (itu bukan salah Pak QS) melainkan, kekeliruan saya. Jadi, mohon klarifikasi lagi pendapat Saudara. Karena saya tidak mau Pak QS yang Anda judge. Saya di sini mendengar, mencermati, dan mencoba menganalisis dari apa yang beliau sampaikan. Bukan berarti saya coba-coba berbicara masalah takdir (secara mendalam). Saya masihlah awam, saya sadari itu. Saya mendengarkan ini bagian dari ilmu. Saya sedang belajar dan saya sedang berusaha memahami.

Barangkali pernyataan "orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya" adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang sok tahu yang tidak berdasar pada Alquran. Pak QS ahli tafsir (Al-Misbahh) dan tentu beliau sudah mempelajari ihwal ilmu tentang takdir. Dan saya, di sini sedang (berusaha) mempelajarinya--bukan belum pernah mempelajarinya, kalau begitu Anda menganggap saya bukan orang yang terpelajar. Jadi pernyataan Anda mengenai kutipan tersebut gegabah. Adikku, mohon hati-hati ketika berdakwah dan menasihati. Di sini mari kita sama-sama belajar. Perdebatan saya ini bukan memojokkan atau menjatuhkanmu Saudaraku, melainkan saling bertukar pikiran. Saya senang kau sudah menjadi orang yang punya wawasan dan pandangan terkait teks yang dibaca.”

Adik : “Saya tidak mengklaim kebodohan pada siapa pun. Saya hanya mendefinisikan bahwa kebodohan adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syari'at (Al Qur'an dan Al Hadits). Seseorang yang berilmu itu diukur dari sejauh pemahamannya terhadap agama. Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan imam muslim rahimahumallah, "mereka yang terbaik dalam masa jahiliah, adalah mereka yang terbaik ketika masuk islam apabila dia faqih (memahami agama)."

Boleh jadi seseorang memiliki kedudukan tinggi di pandangan masyarakat, dan dikenal sebagai orang besar. Namun apabila dia tidak memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya tersebut hanyalah akan menjadi fitnah yang dapat mencelakakannya. Lain halnya jika dia memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya tersebut akan menjadikannya semakin mulia; baik di mata manusia, terlebih di mata Allah subhanahu wa ta'ala.

Duhai saudaraku, ma'afkanlah jika kiranya dalam uraianku ini terdapat kekeliruan. Kita tetaplah bersaudara, walau berbeda dalam beberapa hal.

Kemudian aku ingin bertanya. Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal?
Jujur. Saya pun mengagumi sosok beliau. Hanya saja ada beberapa pendapat atau perkataan beliau yang kurang berkenan. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua dan mengampuni atas segala kekurangan kita.”

Kakak : “Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal? maksud saya, banyak orang yang benci kepada beliau dengan subjektif. Menjudge beliau sesat atau apa. Padahal orang-orang itu tidak membaca dan juga mengkaji pendapat dan buku beliau. Saya punya puluhan ceramah beliau, dan sangat berbobot dan tidak sembarangan. Apa yang beliau sampaikan bukan datang begitu saja, beliau juga belajar dan juga membaca.
Terkait memahami agama. Agama itu sekadar kata. Aplikasinya ya menurut pehamanannya masing-masing memaknai Alquran dan sunnah.Ya dengan cara ijtihadlah manusia mencari hakikat kebenaran.

Perbedaan pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan. Beliau saya rasa bukan sosok yang asal berpendapat. Beliau begitu tabah dan sabar dengan penilaian para ulama mengenai pendapatnya. Ini sesuatu yang patut diteladani dari sosok beliau. Jadi, ungkapan semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menimpanya itu memang benar. Beliau sedang kembali di atas angin setelah lama redup dari media. Sekali muncul, terpaan dan hujatan ke sana ke mari belingsatan. Dan beliau cukup tabah menghadapi itu. Sekait dengan beberapa perbedaan, semisal jilbab, mengucap natal, dan lain-lain, itu menjadi sesuatu yang bisa kita kaji dan renungkan kembali. Sehingga kita bisa mencari lebih banyak lagi sumber referensi dan ilmu yang sekait dengan hal demikian.”

Adik : “Sepertinya saudara lah yang bertumpu pada wilayah personal. Apakah menurut saudara penilaian para ulama itu tidak dengan pertimbangan?!

Adapun masalah ijtihad, itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.

Ijtihad tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam al qur'an dan al hadits atau sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.

Imam Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana pendapat anda?"

Maka beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah, lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."

Ijtihad tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi mukholafah (penyelisihan).

Para ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in yang telah berijtihad, dan dia lebih berilmu. Sehingga mereka pun mengambil ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in tsb.

Dan sungguh ungkapan yang sangat mengerikan "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan."

Sungguh, orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman, dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang penting bisa dipertanggungjawabkan."

Subhanallah! Subhanallah!
Sungguh, jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.

Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak agama-Nya.
"Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali." (Hud : 88)


Kakak : “Terima kasih atas penjelasan saudara beserta dalil dalihnya. semoga mencerahkan.”

Siap Melaut?!


Nikah gak harus muda, tapi jangan menunggu tua.
Semua kembali pada setiap pasangan yang akan menjalani.
Bagaimana saling berkomitmen saja.
Jika sudah siap, segera laksanakan.
Jika belum siap, ya berarti harus sabar menjomblo.

Kata orang seh, sabar itu pahit, berarti menjomblo itu pahit.
Persis seperti minum air sambiloto. Pahit keras. hehe

Nikah bukan sekedar perkara ijab-qabul, kemudian beres.
Justru setelah ijab-qabul itulah, segalanya berawal.
Ibaratnya kamu dan pasanganmu mulai menengah ke laut dengan perahu.
Kualitas perahu itu bergantung bagaimana kamu dan pasanganmu.
Jangan pikirkan ombak, badai, dan sebagainya.
Lah wong namanya juga melaut, ya pasti adalah kesemua itu.
Cukup pikirkan, ingin kamu jadikan apa perahumu bersama pasanganmu itu?


‪#Siap untuk melaut?!

Ibu


Dia adalah wanita yang baik.
Adalah wanita yang penyayang.
Adalah wanita yang tulus.
Adalah wanita yang tekun.
Adalah wanita yang jujur.
Adalah wanita yang peduli.

Cintanya tak bertepi.
Kasih sayangnya tak berujung.
Orang-orang menyebutnya IBU.

Ibu, engkau mengandungku dalam susah payah, tertatih menggendongku dalam perutmu.
Ibu, engkau melahirkanku dalam keperihan, penuh pengorbanan, sampai nyawa menjadi taruhan.
Ibu, engkau menyusuiku, mengurusiku, memanjakanku, membelikanku ini itu, mensabari kekanakanku, hingga aku dewasa kini.

Walau betapa aku tahu hal itu.
Di usiaku yang dewasa ini, aku malah belum pernah sekali pun memelukmu dan mencium keningmu.
Engkau seakan orang asing, padahal engkau adalah ibuku.

Ibu... ibu.. ibu.
Aku masih ingat bahwa engkau pernah memanggilku,
"Wahai anakku..."
Tapi aku cuek tak peduli, berlalu berpaling seolah yang memanggilku bukanlah orang yang penting.
Hingga ahirnya aku sadar kini, "Iya ibu..." aku menjawabnya.
Aku menjawabnya. Aku menjawabnya. A..ku....
"Ibuuu....."
Namun apalah daya, ibu telah tertidur pulas di bawah timbunan tanah. Semoga Allah merahmatimu.

**"Satu pelukan yang kamu berikan untuk ibumu di masa hidupnya, sungguh itu jauh lebih berharga daripada seribu pelukan yang kamu berikan di batu nisannya nanti."

Kebaikan apa pun yang bisa kamu lakukan untuk ibumu saat ini, maka lakukanlah!

Walau hanya dengan sebuah senyuman. Jangan buat dia menangis sedih yah!

Rabu, 12 Agustus 2015

Saling Cinta Tak Mesti Berjodoh; Abdul Mu'min & Laila


Hidup memang tidak akan pernah lepas dari yang namanya cinta. Setiap orang membawa kisah cinta berbeda di dalam kehidupan dunia ini. Tidak pernah ada yang sama, bahkan dua orang yang terlahir kembar. Kisah cinta mereka sedikit pun tidak sama. Boleh jadi yang satu berbahagia dengan kekasihnya, boleh jadi yang satu menderita keperihan. Karena ternyata kekasih yang bersama saudara kembarnya adalah seorang yang dia cintai. Sungguh tragis.

Dan berikut adalah kisah cinta yang mengharu biru antara dua insan, yang jikalau kisah cinta ini di dongengkan kepada langit, maka selamanya langit akan menurunkan hujan. Tidak pernah berhenti.

Abdul Mu’min. Ya, itu-lah nama sang lelaki yang sedang merasakan manisnya kasmaran kepada seorang gadis yang bernama Laila. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam hatinya. Ia jatuh cinta kepada Laila seorang gadis cantik yang sudah lama ia kenal.

Selama mencintai Laila, sedikit pun dia tidak pernah berbicara mengutarakan perasaan cintanya. Apalagi untuk mengutarakan, untuk sekedar memandangnya saja dia tidak berani. Sampai pada ahirnya terdengar kabar bahwa Laila pun mencintainya. Sungguh bukan main, betapa bahagia dirinya. Dia benar-benar merasa terbang di angkasa yang luas, menikmati kesejukan udara yang membelai seluruh tubuhnya. Cintanya ternyata bersambut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Ya, memang wajar jika Laila mencintai Abdul Mu’min. Bahkan wajar jika setiap wanita di jagat raya ini mencintai Abdul Mu’min. Seorang lelaki yang terkenal dengan kepribadiannya yang santun, lembut dan ramah. Tidak hanya itu. Dia ternyata seorang Imam sholat di masjid kampusnya. Dia memiliki suara yang sangat indah. Lantunan tilawahnya begitu merdu mendayu. Siapa pun yang menjadi makmum di belakangnya, maka selamanya ia tidak ingin ruku’. Tilawahnya yang menawan, menjadikan para makmum betah berdiri di dalam barisan sholat.

Dan suatu hari di waktu Maghrib, Laila menyempatkan diri ikut sholat berjama’ah di masjid kampus. Sebelumnya dia tidak pernah tahu, kalau ternyata orang yang menjadi Imam sholat adalah lelaki yang dicintainya, Abdul Mu’min. Sehingga ketika dia melihat Abdul Mu’min berjalan menuju mihrab dan iqamat dikumandangkan, hatinya berdegup kencang. Padahal jarak barisan sholat kaum wanita jauh 10 meter dari barisan sholat kaum lelaki, dan itu pun ditambah sater (kain penutup). Laila merasa seakan-akan dia berdiri dekat di belakang Abdul Mu’min. Dia merasa bahwa hanya ada dia dan Abdul Mu’min yang sedang menjalankan ibadah sholat di masjid. Tilawah sang Imam terdengar syahdu, masuk ke relung hati. Maka semenjak saat itu, Laila pun benar-benar bertambah kagum dan cinta kepada Abdul Mu’min.

Seiring berjalannya waktu. Cinta keduanya bertumbuh dan berkembang. Abdul Mu’min langsung mengambil sikap dan memutuskan untuk melamar Laila. Dia mengirim surat kepada Laila.

“Laila, tidaklah bagus kiranya jika hal ini terus terjadi. Aku tidak sanggup mencintaimu dalam keadaan diam seperti ini. Aku ingin mencintaimu lebih dari sekedar diam. Aku ingin mencintaimu seperti angin yang berhembus, membelai dahan-dahan pohon, menggugurkan daun-daun yang kering. Aku akan melamarmu.”

Dan Laila pun membalas,
“Semoga Allah mempermudahmu dalam urusan yang engkau kehendaki. Sungguh aku sangat hawatir jikalau kedua orang tuaku tidak merestui.”

Abdul Mu’min tidak terlalu menghiraukan kalimat ahir dari isi surat itu. Dia sudah bertekad bulat untuk melamar Laila. Urusan direstui atau tidak, itu adalah belakangan. Dia sudah benar-benar siap menerima segala kenyataan yang akan terjadi.

Dan benar saja. Sesuatu yang dihawatirkan Laila pun terjadi. Kedua orang tua Laila tidak menanggapi lamaran Abdul Mu’min. Kedua orang tuanya menolak, karena ternyata Laila sudah dijodohkan dengan lelaki lain. Laila sendiri pun baru mengetahui hal tersebut, setelah mendengar pembicaraan antara kedua orang tuanya dengan Abdul Mu’min. Laila bersedih, apalagi Abdul Mu’min yang merasa dihianati. Dia sangat bersedih dan bergumam dalam hati, “Laila menyembunyikan pisau tajam, lalu menusukkannya kepadaku. Luka macam apa ini? sungguh perih.”

Semenjak penolakan lamaran itu, Abdul Mu’min memutuskan untuk pergi meninggalkan kampusnya. Dia pergi keluar kota. Abdul Mu’min merasa tidak sanggup menahan perih lukanya. Cintanya yang membara dipaksa untuk padam. Sungguh hal yang mustahil.

Dan di sisi lain, Laila merasa sangat geram terhadap keputusan kedua orang tuanya. Padahal Abdul Mu’min adalah seorang pemuda tampan yang tidak diragukan lagi kesholihannya. Namun tetap saja kedua orang tuanya lebih menitik beratkan nasab. Ya, Abdul Mu’min memang bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga yang bernasab terpandang. Tapi siapa yang mengira bahwa kedudukan Abdul Mu’min di sisi Allah jauh lebih terpandang dan mulia daripada para raja dunia seluruhnya. Tidak ada kedudukan yang paling mulia, melainkan di saat seorang hamba berada dalam kesholihan dan keta’atan kepada Rabbnya.

Setiap hari Laila dirundung kesedihan yang mendalam, ditambah rasa bersalahnya yang terus menghantui. Dia terus bergumam lirih, “Ma’afkan aku ab (panggilan Abdul Mu’min), aku pun tidak tahu jikalau aku sudah dijodohkan. Sungguh aku merasa perih. Kamu telah pergi, pergi, dan pergi. Tapi aku yakin, bahwa cinta ini akan membawamu kembali, walau mungkin hanya untuk sebentar saja.”

Laila menangis sedu, mata sembab, “Yaa Allaah…”, teriaknya lalu tergeletak di atas kasur. Ia tertidur.


########


Di kampus, Laila seperti bunga layu yang ditinggal mentari. Tidak ada keindahan yang terlihat darinya, tidak ada lagi keanggunan yang nampak darinya. Gadis cantik yang kini ditinggal pergi oleh seorang lelaki yang sangat dicintainya. Laila hancur. Hari-harinya berubah kelam. Pekat.

Dan di malam hari, di atas sajadahnya Laila menghabiskan waktu untuk bermunajat di hadapan Rabbul ‘Alamin. Dia memohon dan terus berdo’a. Dia menyerahkan segala urusannya hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa.

“Yaa Allaah, aku jatuh cinta kepada salah seorang hambaMu yang mana Engkau lebih mengetahui tentangNya. Dia adalah hambaMu yang sholih sepanjang yang hamba ketahui, dan sepanjang yang hamba dengar dari penuturan orang-orang. Jika memang benar adanya cinta hamba kepadanya ini karenaMu, maka mohon izinkanlah hamba untuk menjadi kekasih halalnya, walau untuk sebentar saja. Hamba mohon yaa Rabb.. mohon dengan sangat. Cinta ini datang dariMu, maka hamba kembalikan, hamba titipkan, dan hamba sandarkan hanya kepadaMu agar Engkau memberkahinya, lalu Engkau hantarkan cinta itu kepada dia yang hamba cinta. Abdul Mu’min. Pergerakkanlah kakiNya yaa Rabb, agar dia datang menjumpai bidadarinya ini yang sedang keperihan menantinya.”

Dia melakukan hal tersebut hampir di sepanjang malam di setiap harinya. Sehingga kondisi fisiknya melemah, dan ahirnya dia jatuh sakit. Parah. Matanya lebam akibat kurang tidur. Tubuhnya panas-dingin. Kadang ia menggigil seperti orang yang kedinginan dan kadang ia menggeliat seperti orang yang kepanasan.

Mengetahui kondisi Laila yang demikian, kedua orang tuanya langsung bergegas membawanya ke rumah sakit. Laila harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Sampai sembuh atau sampai bagaimana Allah berkehendak (ilaa masyaa Allaah).

“Ayah, bagaimana ini? Laila sakit apa?,” tanya ibu.

“Entahlah, tunggu kabar dari dokter saja,” jawab ayah.

Keduanya tampak begitu cemas dan hawatir terhadap keadaan Laila. Apalagi Laila adalah anak semata wayang yang mereka miliki. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi menimpanya.

Dua tiga hari berlalu dan Laila masih terbaring lemas. Dia sadar, tapi pikirannya pudar. Matanya terbuka, tapi hatinya berkelana.

“Abdul Mu’min,” lirih bibirnya menyebut nama itu. Lalu ia menangis. Air matanya berlinang deras membasahi pipi. Ia sesenggukan.

“Aaaaaabbb,” tiba-tiba teriaknya keras, sehingga mengagetkan kedua orang tuanya yang sedang duduk di balik pintu ruang perawatan.

Spontan kedua orang tuanya bergegas masuk ke dalam.

“Laila, ada apa?,” tanya ibu dan ayahnya.

Laila diam saja. Ia hanya menangis dan sesenggukan.

“Laila, kamu jangan bikin ibu dan bapak hawatir nak,” tutur ibunya lembut.

Laila tetap diam. Seakan tidak mendengar suara apa pun. Matanya kosong memandang ke luar jendela.

“Dia akan kembali,” bisiknya.

Ayah dan ibu laila semakin tidak mengerti dengan keadaan puterinya. Tiba-tiba ia berucap, “dia akan kembali”. Siapa dia yang dimaksud?. Kedua orang tuanya berpikir mencoba memahami maksud ucapan puterinya “dia akan kembali”.

“Abdul mu’min!, iya, abdul mu’min,” ucap ibu.

“Sudahlah bu, jangan ungkit lagi lelaki itu, hawatir laila mendengar,” kata ayah, “Dan ibu harus ingat! Bahwa laila sudah kita jodohkan,” lanjut ayah dengan tegas. 

“Tidak ayah, justru ini ada kaitannya dengan Abdul mu’min. Ibu adalah wanita. Sangat mengerti bagaimana perasaan wanita,” jelas ibu. “Kita harus mendatangkan abdul mu’min kesini. Ibu tidak mau terjadi apa-apa sama laila, apalagi sampai mengganggu kejiwaannya. Adapun urusan perjodohan, kita serahkan saja bagaimana Yang Maha Kuasa mengaturnya,” lanjut ibu, "Yang penting sekarang adalah bagaimana supaya laila bisa sembuh," tegas ibu kemudian.

“Terserah ibu sajalah, silahkan ibu yang mengurus hal itu,” ucap ayah sekilas berlalu keluar.

“Halo, assalamu’alaikum.. abdul mu’min?!,” ibu memanggil dari balik handpone.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah.. iya benar. ini dengan siapa?,” tanya abdul mu’min.

“Ini ibu laila, bagaimana kabarmu nak?,” tanya ibu.

“Alhamdulillah bu, aku baik-baik saja. Ibu bagaimana,” abdul mu’min balik bertanya.

“Alhamdulillah ibu juga baik, tapi..,” ibu terhenti dari bicaranya.

“Tapi? Tapi kenapa bu?,” tanya abdul mu’min penasaran. Mulailah timbul firasat di kepalanya. Laila?.

“Laila di rumah sakit nak, sudah hampir seminggu ini dia dirawat. Dia sering berucap, ‘dia akan kembali, dia akan kembali’. Ibu yakin, bahwa kamu-lah yang dimaksud laila,” papar ibu kepada abdul mu’min. “Kemarilah nak, temui laila,” lanjut ibu seraya memohon.

Abdul mu’min tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung berangkat pulang, kembali ke kotanya untuk menemui laila. Padahal sebenarnya dia sedang disibukkan oleh banyak pekerjaan dan tugas-tugas. Tapi untuk laila. Semuanya itu diabaikan. Abdul mu’min memang sudah kepalang rindu pada laila. Hampir setiap malam dia memikirkan bagaimana supaya bisa berjumpa dengan laila. Ingin menghubungi nomor handponnya, tapi abdul mu’min merasa takut dan malu. Ya, takut dan malu kepada Allah. Karena laila bukanlah wanita halal baginya. “Sungguh binasalah aku!”, ucapnya disuatu malam. Air matanya meleleh membasahi pipinya. “Ya Allah, ampunilah aku!,” lirihnya seraya merundukkan kepala.


########



Disepanjang jalan. Abdul mu’min tampak begitu cemas. Ia tidak tenang. Semakin jarak mendekat. Semakin ia tegang. Ia kehilangan konsentrasi mengendarai motornya. Dubrakkkkkk…! Tiba-tiba sebuah mobil besar menabraknya. Ia terlempar jauh.

“Aaaaabbb!,” teriak laila di ruang perawatan. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi.

Laila melihat jam dinding. Tepat pukul 2 pagi. Ia menangis. Air matanya deras mengalir. Terbayang hal yang buruk menimpa abdul mu’min.

“Ab, aku sangat mencintaimu. Aku ingin halal bersamamu. Aku ingin dipelukmu. Aku ingin keningku dicium olehmu. Aku ingin menyatukan jemariku dengan jemarimu,” lirih laila dengan deraian air mata yang terus mengalir.

Laila menyingkap tirai jendela. Langit masih tampak begitu gelap. Tiada keramaian sinar gemintang. Tiada keceriaan cahaya rembulan. Gelap. Pekat. Gulita. Persis menggambarkan suasana hatinya. Saat itu, laila belum mengetahui perihal kepulangan abdul mu’min untuk menemuinya. Ya, menemuinya. Sebab, sang ibu merahasiakan hal itu.

Laila tampak begitu kosong. Ia seperti kehilangan harapan. Cintanya membuncah. Rindunya merantah. Pikirannya gelap. Matanya pudar. Tangannya menggerayang mencari sesuatu. Dapat. Pisau.

“Lebih baik aku mati saja,” ucapnya.

Benar saja. Ia mulai mengiriskan pisau di pergelangan tangannya. Tapi agak ragu. Mulai berpikir lagi.

“Bodoh!, apa ini?,” ucap laila seraya melemparkan pisau ke tempat sampah. Dia mengurungkan niatnya. Lalu tidur. Memejamkan mata. Lelap.


########



“Alhamdulillaah, untunglah aku selamat,” ucap abdul mu’min dengan hati yang berdebar-debar.


Abdul mu’min selamat, tapi motornya tiada rupa. Hancur. Penyok. Tidak layak pakai. Untunglah sopir mobil truk yang menabraknya baik hati. Ia bertanggung jawab. Benar-benar lelaki.


“Aduh! ma’af pak. Mata saya kabur. Saya tidak begitu jelas melihat arah depan,” tutur sang sopir, yang ternyata dia masih lebih muda daripada abdul mu’min. Ia gemetar. Takut. Risau. “Pak, jangan laporkan saya ke polisi yah,” lanjutnya memelas.

Abdul mu’min tersenyum. Dia tampak begitu tenang. Seakan mengabaikan keadaan motornya.

“Alhamdulillaah, tenang saja pak. Ketidaksengajaan itu lebih berhak untuk dimaklumi dan dimaafkan. Saya tidak marah dan tidak akan melapor ke polisi. Lagi pula saya selamat. Alhamdulillaah,” begitu lembutnya abdul mu’min.

“Silahkan pak, kalo mau berangkat lagi. Barangkali bapak membawa barang atau amanah yang harus segera dihantar,” lanjutnya seraya mengarahkan pak sopir ke arah mobilnya. Sengaja agar pak sopir tidak melihat keadaan motornya yang sekarat.

“Terimakasih pak, saya memang betul-betul tidak sengaja,” ucap pak sopir seraya menyalami tangan abdul mu’min. Lalu ia pergi berlalu dengan mobil truknya.

Kini, abdul mu’min bingung. Jalanan sepi. Waktu masih pekat malam. Motornya hancur. Penyok. Lampu depannya pecah. Pelek bannya bengkok. Pejakan gigi motornya entah nyeliep kemana?. Tapi untunglah masih bisa diseret.

Sekitar 500 meter ke depan ada masjid. Ya, masjid. Abdul mu’min berencana menitipkan motornya disana. Tapi harus menyeret sejauh 500 meter. Jika dilihat-lihat, dia tampak seperti maling. Berjalan di malam pekat. Menyeret-nyeret motor. “Maliiiiiinggggg…!” untunglah tidak ada orang yang berteriak demikian.

“Alhamdulillaah, sampai juga,” abdul mu’min sampai di muka gerbang masjid. Dilihatnya tiada orang. Dia masuk bersama motor penyoknya.

Sedari tadi, abdul mu’min terlihat begitu tenang. Seakan tidak ada masalah yang menimpanya. Padahal dia baru saja ditimpa kecelakaan. Motornya penyok. Perjalanan pulangnya menuju laila tertunda. Ditambah jarak yang masih jauh. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru sampai.

“Yaa Allaah, sungguh begitu nikmat terasa urusanMu. Engkau perdengarkan kabar duka tentang laila. Lalu Engkau menghendaki hamba untuk menemuinya. Dan di tengah jalan, Engkau timpakkan musibah ini. Apatah lagi jika bukan ikhlas dan sabar sebagai sikap yang paling tepat?,” lirih abdul mu’min seraya memandang langit.

Sedikit demi sedikit air matanya meleleh.

“Yaa Allaah, peluklah sejenak tubuh ringkih ini, bismillaah,” abdul mu’min merebahkan tubuhnya. Ia lelah. Dan terpejam.

Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! adzan subuh terkumandang. Abdul mu’min pun bangun.

“Alhamdulillaah, sudah masuk waktu pagi,” bisiknya.

Dia beranjak dari rebahannya. Menuju tempat wudhu. Ia berwhudu dan kemudian memasuki masjid dan sholat sunnah qabliyah 2 roka’at.

Selesai sholat sunnah, iqamat belum juga dikumandangkan. Ia menoleh ke-kanan ke-kiri. Melihat jama’ah yang sudah berkumpul.

“Pak, tidakkah sholat segera dimulai?” tanyanya pada seorang bapak muadzin yang nampak sudah begitu tua.

“Adek bisa menjadi imam. Qadarullaah, petugas imam masjid ini sedang sakit. Jika bapak yang menjadi imam, hawatir suaranya habis,” tutur bapak muadzin seraya memberikan penawaran.

“Silahkan!” tambahnya lagi mempersilahkan abdul mu’min.

“Alhamdulillaah, terimakasih pak. Tapi saya pakai celana, hawatir menyelisihi adat disini,” ucap abdul mu’min.

“Tidak apa dek. Ayo silahkan,” bapak muadzin mempersilahkan dan sekilas mengumandangkan iqamatnya.

Selesai sholat.

“Subhanallaah, lantunan tilawah adek begitu merdu,” ucap bapak muadzin memuji abdul mu’min.

“Alhamdulillaah, terimakasih pak,” jawabnya singkat. “Oh iya pak, boleh saya nitip motor saya di masjid ini?” lanjutnya.

“Insyaallah boleh, dimana motornya,” tanya bapak muadzin.

Setelah ditunjukkan ke arah motornya, bapak muadzin tersebut kaget.

“Inna lillaah, kenapa penyok-hancur begini?,” tanya bapak muadzin.

Abdul mu’min hanya tersenyum. Tidak memberikan penjelasan apa pun. Lalu sejenak dia teringat sesuatu. Laila.

“Astaghfirullaah, laila,” ucapnya seraya bergegas pergi berlari menuju jalan raya. “Pak nitip yah,” teriaknya sambil menoleh ke belakang.

“Ya insyaallah,” jawab bapak muadzin. Belum sempat bertanya mau diapakan motornya, abdul mu’min keburu masuk ke dalam bus. Berangkat. Hilang ditelan kejauhan. 


########


Setelah berjam-jam melalui perjalanan, ahirnya Abdul Mu’min tiba di rumah sakit. Ia pun merogok hape di kantongnya, kemudian, “Assalamu’alaikum, ibu, alhamdulillah saya sudah tiba di rumah sakit, kalau boleh tahu, laila di kamar apa dan nomor berapa yah?” tanya Abdul Mu’min pada seorang wanita di balik hapenya; ibu laila.

“Alhamdulillah nak, kamu sudah datang. Ayo nak, segera kesini, laila di kamar mawar nomor 5,” terang ibu laila.

“Baik bu, terimakasih, insyaallah saya segera kesitu,” tanggap abdul mu’min seraya langsung mematikan hapenya.

Abdul mu’min berjalan terengah-engah, napasnya tak karuan, jantungnya seakan lepas dari dadanya. Sekujur tubuhnya pun mulai dibasahi oleh keringat.

“Ya Allah,  dadaku,” bisiknya dalam hati sambil terus berjalan menuju kamar laila. Rasanya ia tak sabar untuk segera berjumpa dengan laila.

Lalu kemudian ia teringat sesuatu, “Astaghfirullah, seharusnya aku tidak sampai sejauh ini, kenapa aku lupa bahwa laila sudah dijodohkan. Ya Allah, hamba tak ingin merusak kebahagiaan orang lain, apalagi saudara semuslimku.” 

Tapi kini ia tepat berdiri di depan pintu kamar perawatan laila, “Assalamu’alaikum,” ucap abdul mu’min, “Assalamu’alaikum,” ucapnya lagi.

Laila yang sedang terjaga di dalam kamar sangat mengenal suara tersebut. Ia merasa seperti mimpi. Tak percaya. Sebab, ibunya belum memberi tahu bahwa abdul mu’min akan datang menjenguknya.

“Suara itu… Suara abdul mu’min,” ucapnya seraya menoleh ke ibunya. Ia nampak terkejut dan merasa heran, “Benarkah ia datang kesini?” tanyanya kemudian dalam hati.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab ibu laila, “Silahkan masuk!” ucapnya kemudian mempersilahkan.

Cieeeettttt! Suara pintu terbuka. Abdul mu’min pun melangkahkan kakinya perlahan. Ia masuk kamar. Segera saja ia disambut oleh ibu laila. Tapi, wajah abdul mu’min tampak pucat pasi. Dan… belum juga sempat ia berjumpa dan menatap wajah laila, tiba-tiba kamar menjadi gelap. Dimana laila?...... Gubrak! abdul mu’min lunglai, jatuh tersungkur di atas lantai.  

La haula wa la quwwata illa billah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Mata abdul mu'min lebih dahulu terpejam sebelum ia sempat menatap wajah cantik laila. 

Innalillahi wainna ilaihi raji’unAbdul mu’min meninggal dunia. Ia wafat dikarenakan kelelahan, yang menyebabkan jantungnya melemah kemudian berhenti berdenyut. Abdul mu'min ternyata memiliki riwayat penyakit jantung yang sudah lama dideritanya.

Cinta, barangkali bisa membawa seseorang datang kepadamu, atau membawamu datang kepada seseorang. Tapi cinta, tak bisa berbuat apa-apa, saat kematian yang terlebih dahulu datang.

“Kedatanganmu selalu kunanti, tapi penantianku justru membuatmu pergi selamanya,” Laila menangis. Air matanya berlinang membasahi pipinya. Sedu

"Aaaaaabbbb," serunya terisak. Kemudian pingsan.


*Cerpen ini terinpirasi dari kisah nyata yang dituturkan oleh salah seorang ustadz di Jakarta, yaitu tepatnya di tengah obrolan makan siang ba'da jum'at. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi segala aktifitas beliau. Aamiin.