Hidup memang tidak akan
pernah lepas dari yang namanya cinta. Setiap orang membawa kisah cinta berbeda
di dalam kehidupan dunia ini. Tidak pernah ada yang sama, bahkan dua orang yang
terlahir kembar. Kisah cinta mereka sedikit pun tidak sama. Boleh jadi yang
satu berbahagia dengan kekasihnya, boleh jadi yang satu menderita keperihan.
Karena ternyata kekasih yang bersama saudara kembarnya adalah seorang yang dia
cintai. Sungguh tragis.
Dan berikut adalah
kisah cinta yang mengharu biru antara dua insan, yang jikalau kisah cinta ini
di dongengkan kepada langit, maka selamanya langit akan menurunkan hujan. Tidak
pernah berhenti.
Abdul Mu’min. Ya,
itu-lah nama sang lelaki yang sedang merasakan manisnya kasmaran kepada seorang
gadis yang bernama Laila. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam hatinya. Ia
jatuh cinta kepada Laila seorang gadis cantik yang sudah lama ia kenal.
Selama mencintai Laila,
sedikit pun dia tidak pernah berbicara mengutarakan perasaan cintanya. Apalagi
untuk mengutarakan, untuk sekedar memandangnya saja dia tidak berani. Sampai
pada ahirnya terdengar kabar bahwa Laila pun mencintainya. Sungguh bukan main,
betapa bahagia dirinya. Dia benar-benar merasa terbang di angkasa yang luas,
menikmati kesejukan udara yang membelai seluruh tubuhnya. Cintanya ternyata
bersambut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Ya, memang wajar jika
Laila mencintai Abdul Mu’min. Bahkan wajar jika setiap wanita di jagat raya ini
mencintai Abdul Mu’min. Seorang lelaki yang terkenal dengan kepribadiannya yang
santun, lembut dan ramah. Tidak hanya itu. Dia ternyata seorang Imam sholat di
masjid kampusnya. Dia memiliki suara yang sangat indah. Lantunan tilawahnya
begitu merdu mendayu. Siapa pun yang menjadi makmum di belakangnya, maka
selamanya ia tidak ingin ruku’. Tilawahnya yang menawan, menjadikan para makmum
betah berdiri di dalam barisan sholat.
Dan suatu hari di waktu
Maghrib, Laila menyempatkan diri ikut sholat berjama’ah di masjid kampus.
Sebelumnya dia tidak pernah tahu, kalau ternyata orang yang menjadi Imam sholat
adalah lelaki yang dicintainya, Abdul Mu’min. Sehingga ketika dia melihat Abdul
Mu’min berjalan menuju mihrab dan iqamat dikumandangkan, hatinya berdegup
kencang. Padahal jarak barisan sholat kaum wanita jauh 10 meter dari barisan
sholat kaum lelaki, dan itu pun ditambah sater (kain penutup). Laila merasa
seakan-akan dia berdiri dekat di belakang Abdul Mu’min. Dia merasa bahwa hanya
ada dia dan Abdul Mu’min yang sedang menjalankan ibadah sholat di masjid.
Tilawah sang Imam terdengar syahdu, masuk ke relung hati. Maka semenjak saat
itu, Laila pun benar-benar bertambah kagum dan cinta kepada Abdul Mu’min.
Seiring berjalannya
waktu. Cinta keduanya bertumbuh dan berkembang. Abdul Mu’min langsung mengambil
sikap dan memutuskan untuk melamar Laila. Dia mengirim surat kepada Laila.
“Laila, tidaklah bagus
kiranya jika hal ini terus terjadi. Aku tidak sanggup mencintaimu dalam keadaan
diam seperti ini. Aku ingin mencintaimu lebih dari sekedar diam. Aku ingin
mencintaimu seperti angin yang berhembus, membelai dahan-dahan pohon,
menggugurkan daun-daun yang kering. Aku akan melamarmu.”
Dan Laila pun membalas,
“Semoga Allah
mempermudahmu dalam urusan yang engkau kehendaki. Sungguh aku sangat hawatir
jikalau kedua orang tuaku tidak merestui.”
Abdul Mu’min tidak terlalu
menghiraukan kalimat ahir dari isi surat itu. Dia sudah bertekad bulat untuk
melamar Laila. Urusan direstui atau tidak, itu adalah belakangan. Dia sudah
benar-benar siap menerima segala kenyataan yang akan terjadi.
Dan benar saja. Sesuatu
yang dihawatirkan Laila pun terjadi. Kedua orang tua Laila tidak menanggapi
lamaran Abdul Mu’min. Kedua orang tuanya menolak, karena ternyata Laila sudah
dijodohkan dengan lelaki lain. Laila sendiri pun baru mengetahui hal tersebut,
setelah mendengar pembicaraan antara kedua orang tuanya dengan Abdul Mu’min.
Laila bersedih, apalagi Abdul Mu’min yang merasa dihianati. Dia sangat bersedih
dan bergumam dalam hati, “Laila menyembunyikan pisau tajam, lalu menusukkannya
kepadaku. Luka macam apa ini? sungguh perih.”
Semenjak penolakan
lamaran itu, Abdul Mu’min memutuskan untuk pergi meninggalkan kampusnya. Dia
pergi keluar kota. Abdul Mu’min merasa tidak sanggup menahan perih lukanya.
Cintanya yang membara dipaksa untuk padam. Sungguh hal yang mustahil.
Dan di sisi lain, Laila
merasa sangat geram terhadap keputusan kedua orang tuanya. Padahal Abdul Mu’min
adalah seorang pemuda tampan yang tidak diragukan lagi kesholihannya. Namun
tetap saja kedua orang tuanya lebih menitik beratkan nasab. Ya, Abdul Mu’min
memang bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga yang bernasab terpandang.
Tapi siapa yang mengira bahwa kedudukan Abdul Mu’min di sisi Allah jauh lebih
terpandang dan mulia daripada para raja dunia seluruhnya. Tidak ada kedudukan
yang paling mulia, melainkan di saat seorang hamba berada dalam kesholihan dan
keta’atan kepada Rabbnya.
Setiap hari Laila
dirundung kesedihan yang mendalam, ditambah rasa bersalahnya yang terus
menghantui. Dia terus bergumam lirih, “Ma’afkan aku ab (panggilan Abdul
Mu’min), aku pun tidak tahu jikalau aku sudah dijodohkan. Sungguh aku merasa
perih. Kamu telah pergi, pergi, dan pergi. Tapi aku yakin, bahwa cinta ini akan
membawamu kembali, walau mungkin hanya untuk sebentar saja.”
Laila menangis sedu,
mata sembab, “Yaa Allaah…”, teriaknya lalu tergeletak di atas kasur. Ia
tertidur.
########
Di kampus, Laila
seperti bunga layu yang ditinggal mentari. Tidak ada keindahan yang terlihat
darinya, tidak ada lagi keanggunan yang nampak darinya. Gadis cantik yang kini
ditinggal pergi oleh seorang lelaki yang sangat dicintainya. Laila hancur.
Hari-harinya berubah kelam. Pekat.
Dan di malam hari, di
atas sajadahnya Laila menghabiskan waktu untuk bermunajat di hadapan Rabbul
‘Alamin. Dia memohon dan terus berdo’a. Dia menyerahkan segala urusannya hanya
kepada Dia Yang Maha Kuasa.
“Yaa Allaah, aku jatuh
cinta kepada salah seorang hambaMu yang mana Engkau lebih mengetahui
tentangNya. Dia adalah hambaMu yang sholih sepanjang yang hamba ketahui, dan
sepanjang yang hamba dengar dari penuturan orang-orang. Jika memang benar
adanya cinta hamba kepadanya ini karenaMu, maka mohon izinkanlah hamba untuk
menjadi kekasih halalnya, walau untuk sebentar saja. Hamba mohon yaa Rabb..
mohon dengan sangat. Cinta ini datang dariMu, maka hamba kembalikan, hamba
titipkan, dan hamba sandarkan hanya kepadaMu agar Engkau memberkahinya, lalu
Engkau hantarkan cinta itu kepada dia yang hamba cinta. Abdul Mu’min.
Pergerakkanlah kakiNya yaa Rabb, agar dia datang menjumpai bidadarinya ini yang
sedang keperihan menantinya.”
Dia melakukan hal
tersebut hampir di sepanjang malam di setiap harinya. Sehingga kondisi fisiknya
melemah, dan ahirnya dia jatuh sakit. Parah. Matanya lebam akibat kurang tidur.
Tubuhnya panas-dingin. Kadang ia menggigil seperti orang yang kedinginan dan
kadang ia menggeliat seperti orang yang kepanasan.
Mengetahui kondisi
Laila yang demikian, kedua orang tuanya langsung bergegas membawanya ke rumah
sakit. Laila harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Sampai sembuh
atau sampai bagaimana Allah berkehendak (ilaa masyaa Allaah).
“Ayah, bagaimana ini?
Laila sakit apa?,” tanya ibu.
“Entahlah, tunggu kabar
dari dokter saja,” jawab ayah.
Keduanya tampak begitu
cemas dan hawatir terhadap keadaan Laila. Apalagi Laila adalah anak semata
wayang yang mereka miliki. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi menimpanya.
Dua tiga hari berlalu
dan Laila masih terbaring lemas. Dia sadar, tapi pikirannya pudar. Matanya
terbuka, tapi hatinya berkelana.
“Abdul Mu’min,” lirih
bibirnya menyebut nama itu. Lalu ia menangis. Air matanya berlinang deras
membasahi pipi. Ia sesenggukan.
“Aaaaaabbb,” tiba-tiba
teriaknya keras, sehingga mengagetkan kedua orang tuanya yang sedang duduk di
balik pintu ruang perawatan.
Spontan kedua orang
tuanya bergegas masuk ke dalam.
“Laila, ada apa?,”
tanya ibu dan ayahnya.
Laila diam saja. Ia
hanya menangis dan sesenggukan.
“Laila, kamu jangan
bikin ibu dan bapak hawatir nak,” tutur ibunya lembut.
Laila tetap diam.
Seakan tidak mendengar suara apa pun. Matanya kosong memandang ke luar jendela.
“Dia akan kembali,”
bisiknya.
Ayah dan ibu laila
semakin tidak mengerti dengan keadaan puterinya. Tiba-tiba ia berucap, “dia
akan kembali”. Siapa dia yang dimaksud?. Kedua orang tuanya berpikir mencoba
memahami maksud ucapan puterinya “dia akan kembali”.
“Abdul mu’min!, iya,
abdul mu’min,” ucap ibu.
“Sudahlah bu, jangan
ungkit lagi lelaki itu, hawatir laila mendengar,” kata ayah, “Dan ibu harus
ingat! Bahwa laila sudah kita jodohkan,” lanjut ayah dengan tegas.
“Tidak
ayah, justru ini ada kaitannya dengan Abdul mu’min. Ibu adalah wanita. Sangat
mengerti bagaimana perasaan wanita,” jelas ibu. “Kita harus mendatangkan abdul
mu’min kesini. Ibu tidak mau terjadi apa-apa sama laila, apalagi sampai
mengganggu kejiwaannya. Adapun urusan perjodohan, kita serahkan saja bagaimana
Yang Maha Kuasa mengaturnya,” lanjut ibu, "Yang penting sekarang adalah bagaimana supaya laila bisa sembuh," tegas ibu kemudian.
“Terserah ibu sajalah,
silahkan ibu yang mengurus hal itu,” ucap ayah sekilas berlalu keluar.
“Halo, assalamu’alaikum..
abdul mu’min?!,” ibu memanggil dari balik handpone.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah.. iya benar. ini dengan siapa?,” tanya abdul mu’min.
“Ini ibu laila,
bagaimana kabarmu nak?,” tanya ibu.
“Alhamdulillah bu, aku
baik-baik saja. Ibu bagaimana,” abdul mu’min balik bertanya.
“Alhamdulillah ibu juga
baik, tapi..,” ibu terhenti dari bicaranya.
“Tapi? Tapi kenapa
bu?,” tanya abdul mu’min penasaran. Mulailah timbul firasat di kepalanya.
Laila?.
“Laila di rumah sakit
nak, sudah hampir seminggu ini dia dirawat. Dia sering berucap, ‘dia akan
kembali, dia akan kembali’. Ibu yakin, bahwa kamu-lah yang dimaksud laila,”
papar ibu kepada abdul mu’min. “Kemarilah nak, temui laila,” lanjut ibu seraya
memohon.
Abdul mu’min tidak
berpikir panjang lagi. Dia langsung berangkat pulang, kembali ke kotanya untuk
menemui laila. Padahal sebenarnya dia sedang disibukkan oleh banyak pekerjaan
dan tugas-tugas. Tapi untuk laila. Semuanya itu diabaikan. Abdul mu’min memang
sudah kepalang rindu pada laila. Hampir setiap malam dia memikirkan bagaimana
supaya bisa berjumpa dengan laila. Ingin menghubungi nomor handponnya, tapi
abdul mu’min merasa takut dan malu. Ya, takut dan malu kepada Allah. Karena
laila bukanlah wanita halal baginya. “Sungguh binasalah aku!”, ucapnya disuatu
malam. Air matanya meleleh membasahi pipinya. “Ya Allah, ampunilah aku!,”
lirihnya seraya merundukkan kepala.
########
Disepanjang jalan.
Abdul mu’min tampak begitu cemas. Ia tidak tenang. Semakin jarak mendekat.
Semakin ia tegang. Ia kehilangan konsentrasi mengendarai motornya.
Dubrakkkkkk…! Tiba-tiba sebuah mobil besar menabraknya. Ia terlempar jauh.
“Aaaaabbb!,” teriak
laila di ruang perawatan. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi.
Laila melihat jam
dinding. Tepat pukul 2 pagi. Ia menangis. Air matanya deras mengalir. Terbayang
hal yang buruk menimpa abdul mu’min.
“Ab, aku sangat
mencintaimu. Aku ingin halal bersamamu. Aku ingin dipelukmu. Aku ingin keningku
dicium olehmu. Aku ingin menyatukan jemariku dengan jemarimu,” lirih laila
dengan deraian air mata yang terus mengalir.
Laila menyingkap tirai
jendela. Langit masih tampak begitu gelap. Tiada keramaian sinar gemintang.
Tiada keceriaan cahaya rembulan. Gelap. Pekat. Gulita. Persis menggambarkan
suasana hatinya. Saat itu, laila belum mengetahui perihal kepulangan abdul
mu’min untuk menemuinya. Ya, menemuinya. Sebab, sang ibu merahasiakan hal itu.
Laila tampak begitu
kosong. Ia seperti kehilangan harapan. Cintanya membuncah. Rindunya merantah.
Pikirannya gelap. Matanya pudar. Tangannya menggerayang mencari sesuatu. Dapat.
Pisau.
“Lebih baik aku mati
saja,” ucapnya.
Benar saja. Ia mulai
mengiriskan pisau di pergelangan tangannya. Tapi agak ragu. Mulai berpikir
lagi.
“Bodoh!, apa ini?,”
ucap laila seraya melemparkan pisau ke tempat sampah. Dia mengurungkan niatnya.
Lalu tidur. Memejamkan mata. Lelap.
########
“Alhamdulillaah,
untunglah aku selamat,” ucap abdul mu’min dengan hati yang berdebar-debar.
Abdul mu’min selamat,
tapi motornya tiada rupa. Hancur. Penyok. Tidak layak pakai. Untunglah sopir
mobil truk yang menabraknya baik hati. Ia bertanggung jawab. Benar-benar
lelaki.
“Aduh! ma’af pak. Mata
saya kabur. Saya tidak begitu jelas melihat arah depan,” tutur sang sopir, yang
ternyata dia masih lebih muda daripada abdul mu’min. Ia gemetar. Takut. Risau.
“Pak, jangan laporkan saya ke polisi yah,” lanjutnya memelas.
Abdul mu’min tersenyum.
Dia tampak begitu tenang. Seakan mengabaikan keadaan motornya.
“Alhamdulillaah, tenang
saja pak. Ketidaksengajaan itu lebih berhak untuk dimaklumi dan dimaafkan. Saya
tidak marah dan tidak akan melapor ke polisi. Lagi pula saya selamat.
Alhamdulillaah,” begitu lembutnya abdul mu’min.
“Silahkan pak, kalo mau
berangkat lagi. Barangkali bapak membawa barang atau amanah yang harus segera
dihantar,” lanjutnya seraya mengarahkan pak sopir ke arah mobilnya. Sengaja
agar pak sopir tidak melihat keadaan motornya yang sekarat.
“Terimakasih pak, saya
memang betul-betul tidak sengaja,” ucap pak sopir seraya menyalami tangan abdul
mu’min. Lalu ia pergi berlalu dengan mobil truknya.
Kini, abdul mu’min
bingung. Jalanan sepi. Waktu masih pekat malam. Motornya hancur. Penyok. Lampu
depannya pecah. Pelek bannya bengkok. Pejakan gigi motornya entah nyeliep
kemana?. Tapi untunglah masih bisa diseret.
Sekitar 500 meter ke
depan ada masjid. Ya, masjid. Abdul mu’min berencana menitipkan motornya
disana. Tapi harus menyeret sejauh 500 meter. Jika dilihat-lihat, dia tampak
seperti maling. Berjalan di malam pekat. Menyeret-nyeret motor.
“Maliiiiiinggggg…!” untunglah tidak ada orang yang berteriak demikian.
“Alhamdulillaah, sampai
juga,” abdul mu’min sampai di muka gerbang masjid. Dilihatnya tiada orang. Dia
masuk bersama motor penyoknya.
Sedari tadi, abdul
mu’min terlihat begitu tenang. Seakan tidak ada masalah yang menimpanya.
Padahal dia baru saja ditimpa kecelakaan. Motornya penyok. Perjalanan pulangnya
menuju laila tertunda. Ditambah jarak yang masih jauh. Butuh 3 atau 4 jam lagi
baru sampai.
“Yaa Allaah, sungguh
begitu nikmat terasa urusanMu. Engkau perdengarkan kabar duka tentang laila.
Lalu Engkau menghendaki hamba untuk menemuinya. Dan di tengah jalan, Engkau
timpakkan musibah ini. Apatah lagi jika bukan ikhlas dan sabar sebagai sikap
yang paling tepat?,” lirih abdul mu’min seraya memandang langit.
Sedikit demi sedikit
air matanya meleleh.
“Yaa Allaah, peluklah
sejenak tubuh ringkih ini, bismillaah,” abdul mu’min merebahkan tubuhnya. Ia
lelah. Dan terpejam.
Allaahu Akbar! Allaahu
Akbar! adzan subuh terkumandang. Abdul mu’min pun bangun.
“Alhamdulillaah, sudah
masuk waktu pagi,” bisiknya.
Dia beranjak dari
rebahannya. Menuju tempat wudhu. Ia berwhudu dan kemudian memasuki masjid dan
sholat sunnah qabliyah 2 roka’at.
Selesai sholat sunnah,
iqamat belum juga dikumandangkan. Ia menoleh ke-kanan ke-kiri. Melihat jama’ah
yang sudah berkumpul.
“Pak, tidakkah sholat
segera dimulai?” tanyanya pada seorang bapak muadzin yang nampak sudah begitu
tua.
“Adek bisa menjadi
imam. Qadarullaah, petugas imam masjid ini sedang sakit. Jika bapak yang
menjadi imam, hawatir suaranya habis,” tutur bapak muadzin seraya memberikan
penawaran.
“Silahkan!” tambahnya
lagi mempersilahkan abdul mu’min.
“Alhamdulillaah,
terimakasih pak. Tapi saya pakai celana, hawatir menyelisihi adat disini,” ucap
abdul mu’min.
“Tidak apa dek. Ayo
silahkan,” bapak muadzin mempersilahkan dan sekilas mengumandangkan iqamatnya.
Selesai sholat.
“Subhanallaah, lantunan
tilawah adek begitu merdu,” ucap bapak muadzin memuji abdul mu’min.
“Alhamdulillaah,
terimakasih pak,” jawabnya singkat. “Oh iya pak, boleh saya nitip motor saya di
masjid ini?” lanjutnya.
“Insyaallah boleh,
dimana motornya,” tanya bapak muadzin.
Setelah ditunjukkan ke
arah motornya, bapak muadzin tersebut kaget.
“Inna lillaah, kenapa
penyok-hancur begini?,” tanya bapak muadzin.
Abdul mu’min hanya
tersenyum. Tidak memberikan penjelasan apa pun. Lalu sejenak dia teringat
sesuatu. Laila.
“Astaghfirullaah,
laila,” ucapnya seraya bergegas pergi berlari menuju jalan raya. “Pak nitip
yah,” teriaknya sambil menoleh ke belakang.
“Ya insyaallah,” jawab
bapak muadzin. Belum sempat bertanya mau diapakan motornya, abdul mu’min keburu
masuk ke dalam bus. Berangkat. Hilang ditelan kejauhan.
########
Setelah berjam-jam melalui perjalanan, ahirnya Abdul Mu’min tiba di rumah sakit. Ia pun merogok hape di
kantongnya, kemudian, “Assalamu’alaikum, ibu, alhamdulillah saya sudah tiba di
rumah sakit, kalau boleh tahu, laila di kamar apa dan nomor berapa yah?” tanya
Abdul Mu’min pada seorang wanita di balik hapenya; ibu laila.
“Alhamdulillah nak,
kamu sudah datang. Ayo nak, segera kesini, laila di kamar mawar nomor 5,”
terang ibu laila.
“Baik bu, terimakasih, insyaallah saya
segera kesitu,” tanggap abdul mu’min seraya langsung mematikan hapenya.
Abdul mu’min berjalan
terengah-engah, napasnya tak karuan, jantungnya seakan lepas dari dadanya. Sekujur
tubuhnya pun mulai dibasahi oleh keringat.
“Ya Allah, dadaku,” bisiknya dalam hati sambil terus berjalan menuju kamar
laila. Rasanya ia tak sabar untuk segera berjumpa dengan laila.
Lalu kemudian ia
teringat sesuatu, “Astaghfirullah, seharusnya aku tidak sampai sejauh ini,
kenapa aku lupa bahwa laila sudah dijodohkan. Ya Allah, hamba tak ingin merusak
kebahagiaan orang lain, apalagi saudara semuslimku.”
Tapi kini ia tepat berdiri
di depan pintu kamar perawatan laila, “Assalamu’alaikum,” ucap
abdul mu’min, “Assalamu’alaikum,” ucapnya lagi.
“Suara itu… Suara abdul
mu’min,” ucapnya seraya menoleh ke ibunya. Ia nampak terkejut dan merasa heran,
“Benarkah ia datang kesini?” tanyanya kemudian dalam hati.
Cieeeettttt! Suara pintu
terbuka. Abdul mu’min pun melangkahkan kakinya perlahan. Ia masuk kamar. Segera
saja ia disambut oleh ibu laila. Tapi, wajah abdul mu’min tampak pucat pasi. Dan…
belum juga sempat ia berjumpa dan menatap wajah laila, tiba-tiba kamar menjadi gelap. Dimana
laila?...... Gubrak! abdul mu’min
lunglai, jatuh tersungkur di atas lantai.
La haula wa la quwwata
illa billah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah
subhanahu wa ta’ala. Mata abdul mu'min lebih dahulu terpejam sebelum ia sempat menatap wajah cantik laila.
Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Abdul mu’min meninggal dunia. Ia wafat dikarenakan kelelahan, yang menyebabkan jantungnya melemah kemudian berhenti berdenyut. Abdul mu'min ternyata memiliki riwayat penyakit jantung yang sudah lama dideritanya.
Cinta, barangkali bisa
membawa seseorang datang kepadamu, atau membawamu datang kepada seseorang. Tapi
cinta, tak bisa berbuat apa-apa, saat kematian yang terlebih dahulu datang.
“Kedatanganmu selalu kunanti, tapi penantianku justru membuatmu pergi selamanya,” Laila menangis. Air matanya berlinang membasahi pipinya. Sedu.
"Aaaaaabbbb," serunya terisak. Kemudian pingsan.
*Cerpen ini terinpirasi dari kisah nyata yang dituturkan oleh salah seorang ustadz di Jakarta, yaitu tepatnya di tengah obrolan makan siang ba'da jum'at. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi segala aktifitas beliau. Aamiin.
*Cerpen ini terinpirasi dari kisah nyata yang dituturkan oleh salah seorang ustadz di Jakarta, yaitu tepatnya di tengah obrolan makan siang ba'da jum'at. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahi segala aktifitas beliau. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar