Selasa, 11 Agustus 2015

Saif dan Zizi ; Memang Jodohnya



Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia lah yang mengatur segala urusan hamba-hamba-Nya, Dia berhak berbuat apa saja sekehendak-Nya, dan sesungguhnya urusannya adalah apabila Dia menghendaki sesuatu, maka Dia tinggal berkata, “Jadilah!” maka sesuatu itu pun benar-benar terjadi.

Insyaallah, pada tulisan ini, aku ingin bercerita mengenai pengalaman seorang sahabat senior yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri. Ini adalah pengalaman ketika dia melamar seorang wanita. Kita sebut saja nama sahabatku itu; Saif.

Hari itu, Saif dikenalkan dengan seorang wanita oleh seorang ustadz yang tidak lain ustadz itu adalah temannya sendiri. Dia dikenalkan dengan wanita tersebut hanya baru sebatas nama saja dan sedikit tentang pribadinya. Dan kita sebut saja wanita itu; Zizi, seorang santriwati yang baru saja lulus dari pondok pesantren.

Mendengar tentang Zizi, Saif merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk Zizi, “Aduh ustadz, ana ini orangnya tahu diri,” lirihnya kepada ustadz, “Sudahlah, ayo lamar saja,” ustadz meyakinkan.

Karena merasa diri tidak pantas, ahirnya Saif pun berinisiatif untuk menawarkan Zizi kepada sahabat-sahabatnya yang dirasa lebih pantas untuk Zizi. Padahal dia sendiri pun belum pernah melihat Zizi secara langsung. Hanya baru tahu nama dan sedikit tentang pribadinya.

Tahu siapa yang didatangi? Ya, aku salah satunya.

Saif mendatangiku,
“Za, antum mau menikah tidak? Ada akhwat sepertinya cocok buat antum,” tawarnya kepadaku.
Tapi aku hanya tersenyum sambil memberi isyarat bahwa aku belum ingin menikah, “Buat antum saja,” kemudian ucapku.

“Tapi, ana sudah ada wanita lain,” terangnya.
“Istikhorokan saja dulu! Jangan terlalu yakin dengan wanita yang belum sah atau halal untukmu dan jangan menentukan pilihan sebelum meminta pilihan yang terbaik kepada Allah,” jelasku kepadanya.

*****

Semakin hari berlalu, semakin Saif merasa bimbang,
“Maju, tidak. Maju, tidak. Ah, ana orang yang tahu diri, ana tidak pantas untuk Zizi,” bisiknya dalam hati sambil mengeratkan gigi-giginya dan mengepalkan tangannya. Geram.
“Kalau ana maju, lalu bagaimana dengan miya (wanita yang sedang menjalin hubungan dengannya, tapi jaraknya berjauhan terpisah beberapa kota)? Dia pasti akan marah jika mengetahui ana melamar wanita lain,” pikirnya bingung.

Alhamdulillah, di tengah kebingungan itu, Allah menggerakkan hati dan anggota tubuhnya untuk menghadap-Nya. Dan ini merupakan rahmat dan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuknya. Dan tidaklah seorang hamba itu diberi taufiq oleh Allah melainkan karena adanya ilmu pada dirinya.

Saif pun shalat istikhoro, menghadapkan hati dan anggota tubuhnya di hadapan Al Jabbar Al ‘Aziz Al Hakim. Tidak hanya sekali, tapi Saif mengulangi istikhoronya sampai dua kali agar hasilnya terasa mantap, yakin dan tenang di hati.

Selang beberapa hari setelah sholat istikhoro, ahirnya Saif pun merasa cenderung untuk melamar Zizi. Hatinya terasa mantap, yakin dan tenang.

Alhamdulillah, Saif mendapat nomor hape Zizi dan langsung meng-sms-nya,
“Assalamu’alaikum,” pesannya.
“Wa’alaikumussalam, ini siapa?” balas Zizi.
“Alhamdulillah. Langsung dibalas,” bisik Saif dalam hati sambil tersenyum dan menempelkan hapenya di dada. Dipeluk erat. Tanda bahagia.
“Anti bisa jaga amanah jika ana mengenalkan diri?” pesannya lagi ke Zizi.
“Iya, Insyaallaah,” balas Zizi.
“Ana Saif, guru di SD (sensor). Ana mau bertanya, anti sudah ada yang melamar belum?” tanyanya.
“Belum,” jawab Zizi.

*****

Setelah merasa diri sudah mantap, dia pun mendatangi ustadznya,
“Ustadz, insyaallah ana positif untuk melamar Zizi, tapi ana ingin nazhor (istilah nikah; melihat calon pengantin wanita) terlebih dahulu.”
“Alhamdulillah, kalau begitu besok kita langsung ke rumah Zizi,” tegas ustadz.

Hari cepat berganti, kemarin berlalu, dan esok menjadi sekarang, ya sekarang lah waktu bagi Saif untuk menazhor Zizi, calon pengantinnya.

Di sepanjang perjalanan, Saif merasa kurang percaya diri, tubuhnya gemetaran layaknya orang kedinginan, jantungnya berdegup kencang seakan hampir keluar menembus dadanya. Tapi kemudian dia menatap langit, berdo’a, “Yaa Rabb, yassir li amri (yaa Rabb, mudahkanlah urusanku)”
“Alhamdulillah sudah sampai,” ustadz memberhentikan motornya.
Tidak terasa, perjalanan terasa begitu cepat. Kini, Saif dapat melihat pintu rumah Zizi,
“Ustadz, cukuplah! Cukup melihat pintu rumahnya saja. Ayo kita pulang,” ucap Saif merasa minder untuk melanjutkan langkahnya.
“Loh, belum perang ko’ sudah menyerah. Ayo akhi, gagahkan diri antum, tajamkan pandangan, luruskan niat hati, bismillah,” ustadz memberi semangat seraya merangkul pundaknya, “Ayo akhi, kita jalan,” lanjut ustadz sambil menghentakkan langkah kaki yang pertama. Duk!

Pintu rumah Zizi pun diketok. Tok tok tok, “Assalamu’alaikum!” tok tok tok, “Assalamu’alaikum,” ustadz mengulangi ucapan salamnya. Saif yang berada di sampingnya hanya berdiri diam, tapi mulutnya nampak berkomat-kamit, persis seperti embah dukun. Entah mantra apa yang dibaca?
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” terdengar suara balasan dari dalam rumah. Suara lelaki yang sepertinya itu adalah bapaknya Zizi.

Dan benar saja, itu adalah bapaknya Zizi.
“Assalamu’alaikum pak, apa kabar?” ucap ustadz seraya menyalami tangan bapak Zizi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, Alhamdulillah baik,” jawab bapak Zizi, “Ayo silahkan duduk!” lanjutnya.

Ustadz pun langsung to the point, mengutarakan maksud kedatangannya,
“Begini pak, ini saudara kami Saif datang ke rumah bapak bermaksud ingin menazhor putri bapak yang bernama Zizi. Disini saya sebagai pendamping saja.”
“Alhamdulillah, saya merasa senang jika memang demikian maksud kedatangan kalian,” ucap bapak Zizi, “Ziiii, ziiii, kesini nak! Ini ada ikhwan yang mau nazhor,” Zizi pun dipanggil.
“Iya pak, Zizi mau memakai kaos kaki dulu,” sahut lembut Zizi.
“Tidak usah memakai kaos kaki nak, biarkan calonmu ini melihatmu dari ujung kepala sampai ujung kaki,” ucap bapaknya.

Saif yang sedari tadi diam, nampak menelan ludah, seraya membaguskan posisi duduknya. Dan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya pelan-pelan, “Bismillah,” lirihnya.

Deg, deg, deg, deg, deg! Seisi rumah tiba-tiba nampak gelap. Saif linglung. Menengok ke kanan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Napasnya kini mulai tak beraturan. Ia terengah-engah. Keringat mulai bercucuran membasahi wajahnya.

“Nak Saif, ini putri bapak,” ucap bapak Zizi mengagetkan lamunannya.
“Mana? Mana? Mana?” tanyanya berulang-ulang salah tingkah. Maklum, kesadarannya baru pulih. Dan…
Mata Saif pun mendapati sosok wanita cantik yang wajahnya berseri bagai purnama yang bersandingkan sejuta bintang. Wanita itu, tepat berada di hadapannya. Cantik jelita.
“Subhanallah,” bisik Saif dalam hati, kemudian langsung memalingkan pandangannya.
“Bagaimana nak Saif? Sudah melihat putri saya,” tanya bapak Zizi.
“Alhamdulillah, cukup pak,” jawab Saif sambil menganggukkan kepalanya.

Zizi nampak tersenyum, dan ia pun sempat melirik ke Saif yang wajahnya nampak damai, dan terasa ketenangan dari raut wajahnya tersebut.

*****

Semenjak kepulangannya dari menazhor, wajah Zizi mulai terbayang-bayang di pikirannya,
“Subhanallah, ternyata dia adalah wanita yang cantik,” lirih Saif sambil menatap langit-langit kamarnya dan merangkul erat bantal gulingnya.

Saif mulai merasakan ada getaran di dalam hatinya, getaran yang membuatnya semakin yakin untuk segera menikah. Tapi kemudian, timbul di benaknya perasaan ragu, jangan-jangan nanti dia ditolak.

Sebab, mengingat kejadian yang pernah berlalu, bahwa dia pernah melamar seorang wanita, namun ternyata dia disambut dengan kurang baik. Dia pulang dengan perasaan kecewa, merasa diri seperti orang yang paling bodoh. Awalnya sang wanita meyakinkan, namun akhirnya menghancurkan.
“Zizi, kamu adalah wanita baik dan cantik. Aku adalah orang yang tahu diri, aku tidak pantas untukmu,” Saif bergumam di dalam hatinya.
“Assalamu’alaikum,” Saif pun mengirim pesan ke Zizi.
“Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh,” balas Zizi.
“Zi, kamu mau tidak jika menikah dengan sahabatku, dia lebih baik dariku,” pesannya ke Zizi.
“Aneh! Kemarin yang menazhorku kan kamu, ko’ malah kamu menawarkan orang lain? Aku ini bukan barang yang mudah di oper sana-oper sini,” jelas Zizi.
“Bukan begitu maksudku, sebenarnya aku hanya ingin jawaban darimu, apakah kamu menerimaku?” tanya Saif.
“Beri aku waktu satu minggu untuk berpikir,” pinta Zizi.
Membaca pesan tersebut, Saif mulai gelisah dan bimbang. Dia tidak mungkin menunggu selama itu. Jemuran saja, jika digantung satu hari, langsung kering, kalau digantung sampai tujuh hari, entah jadi apa itu jemuran?. Apalagi hati yang bimbang, bisa sekarat.
“Zi, aku tidak mau digantung selama itu, aku tidak bisa menunggu selama satu minggu, kalau kamu memang tidak menerima, ya bilang saja sekarang kalau kamu tidak menerima, aku tidak apa-apa ko. Jangan terima aku yah,” balasnya ke Zizi.
“Ko malah jangan diterima! Ya sudah, besok atau lusa saja jawabannya,” Zizi mulai merasa heran dengan sikap Saif. Baru bernazhor, belum menghitbah, tapi Saif malah minta ingin ditolak.
“Baiklah, aku menunggu jawaban darimu” balas Saif.

*****

Keesokan harinya, “Aku menerimamu, maka segeralah khitbah aku (Istilah nikah; meminang)” Zizi mengirim pesan ke Saif.
“Alhamdulillah, aku diterima,” teriak Saif mengucap syukur seraya bersungkur sujud di hadapan Yang Maha Kuasa.

Saif merasa bahagia dan langsung membalas pesan dari Zizi, “Alhamdulillah, terimakasih Zi sudah mau menerimaku, tapi bagaimana dengan ke-dua orang tuamu?” tanya Saif.
“Kamu datang saja ke rumah, langsung lamar aku,” pinta Zizi.
“Tapi aku ragu dan takut ditolak oleh ke-dua orang tuamu. Aku ini hanya lelaki biasa,” Saif merasa minder dengan kondisinya.
“Jangan takut! Bapakku orangnya baik ko dan enak diajak ngobrol. Ayo semangat! Lamar aku,” Zizi menyemangati.

Membaca pesan dari Zizi tersebut, gairah Saif pun bergejolak, semangatnya membara, gigi-giginya mulai menampakkan taring kejantanannya. Tring!
“Tapi aku ingin bertanya, ko dengan gampangnya kamu menerimaku?” tanya Saif.
“Aku hanya yakin bahwa kamu adalah lelaki yang mampu bertanggungjawab, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku,” jelas Zizi.
“Alhamdulillah, baiklah. Tunggu aku melamarmu! Segera tanpa nanti insyaallah,” balas Saif dengan mantap.

*****

Kini, tibalah waktu pembuktian, bahwa Saif memang seorang pejantan tangguh.
“Assalamu’alaikum, insyaallah sekarang juga aku akan mendatangi rumahmu,” pesan Saif ke Zizi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, silahkan!” balas Zizi.
“Baiknya, aku sendirian atau mengajak orang lain?” tanya Saif.
“Sendiri saja, kamu harus jantan,” tegas Zizi.
Ini merupakan tantangan telak bagi Saif.
“Siapa takut?!” balas Saif, padahal tangannya sedang gemeteran menggenggam hape.
“Bismillah,” bisiknya dalam hati.

Saif bersiap-siap untuk segera berangkat menuju rumah Zizi. Dia memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, menyisir rambut, de el el. Tapi dia lupa satu hal. Dia belum memakai celana. *upz, hehe  

Setelah siap, Saif pun berangkat. Dia sudah benar-benar mantap untuk mengkhitbah Zizi. Apalagi Zizi sudah memberi lampu hijau. Dia mengingat kembali pesan yang pernah dikirim oleh Zizi kepadanya, “Jangan takut! Bapakku orangnya baik ko dan enak diajak ngobrol. Ayo semangat! Lamar aku.” Pesan itu membakar segala keraguan yang ada di benaknya. Saif hanya perlu keyakinan, bahwa dia bisa menaklukan hati kedua orang tua Zizi.

Langkah demi langkah, ahirnya Saif sampai di depan rumah Zizi. Dia menatap rumah itu, “Zizi, insyaallah kamu akan menjadi permaisuriku,” lirihnya sambil mengepalkan jemari-jemari tangannya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Assalamu’alaikum,” ucap Saif sedikit berteriak.
“Wa’alaikumussalam,” pintu rumah terbuka, ternyata bapak Zizi yang menyambutnya.
“Eh, nak Saif, ayo silahkan masuk,” bapak Zizi mempersilahkan, “Bagaimana kabarmu?” lanjutnya.
“Alhamdulillah pak, selalu baik. Bapak dan keluarga bagaimana?” tanya Saif.
“Alhamdulillah, semuanya dalam keadaan baik,” jawab bapak Zizi.
“Begini pak, kemarin kan saya sudah menazhor puteri bapak, dan Alhamdulillah sekarang saya datang lagi untuk langkah selanjutnya,” ucap Saif langsung to the point.
“Apa itu langkah selanjutnya?” canda bapak Zizi, pura-pura tidak tahu.
“Ya, selanjutnya. Ya selanjutnya pak,” Saif terbata.
“Ya selanjutnya, ya selanjutnya. Ya opo?” tanya bapak Zizi.
“Melamar pak!” jawab Saif. Tegas.
“Oh, melamar. Nanti bapak bilang dulu ke ibu,” ucap bapak Zizi seraya bergegas ke dapur.
Sebenarnya, sedari tadi mata Saif jelalatan melihat kesana-sini, mencari sosok yang akan dilamarnya, “Zizi mana yah?” bisiknya dalam hati.
Di dapur, terdengar suara percakapan antara bapak Zizi dan ibu Zizi,
“Buuu, ini ada nak Saif yang kemarin datang menazhor puteri kita. Dan sekarang dia datang lagi. Katanya mau melamar puteri kita bu. Ibu bagaimana? Setuju!” tanya bapak.
“Tahun depan saja pak. Kita biarkan agar mereka lebih mengenal satu sama lain dahulu,” jawab ibu.
“Loh, itu gak boleh bu. Itu namanya kita membiarkan mereka berpacaran. Dan itu dilarang oleh agama kita,” terang bapak.

*****

Alhamdulillah, ahirnya lamaran Saif pun diterima. Dia begitu bersyukur seraya menahan haru. Seorang lelaki yang sering dianggap nyeleneh dan suka bergurau oleh sebagian teman-temannya, kini akan menikahi seorang wanita sholihah yang cantik jelita. Menjadi pendamping hidupnya dalam suka-duka sebagai ibadah teringgi kepada Dzat Yang Maha Kuasa, demi mewujudkan sakinah, mawaddah wa rahmah.
“Alhamdulillah za, lamaranku diterima,” pesan Saif kepadaku.
“Alhamdulillah, selamat saudaraku. Terus, rencananya kapan?” tanyaku.
“Insyaallah sebulan lagi,” jawabnya. Tidak lupa menyertakan ^_^ tanda bahwa dia sedang berbahagia.
“Muyassar (dimudahkan) insyaallah,” do’aku untuknya.
“Aamiin. Syukron za,” balasnya.

Selang seminggu atau dua minggu setelah percakapan melalui What’ups, Saif datang berkunjung ke Jakarta. Kita bertemu di tempat pengabdianku dahulu; Yayasan Al-Sofwa Lenteng Agung Jakarta Selatan.
Saat pertamakali berjumpa, wajahnya nampak lain, beda seperti wajahnya di hari-hari yang berlalu. Dulu, wajahnya seperti awan hitam; mendung, seram, berkilat-kilat, bergemuruh pertir, hujan deras. Siapa pun yang melihatnya, akan langsung bersedia payung atau bahkan bersedia perahu. Sedia payung dan perahu sebelum Saif berwujud. Hehe ^_^ 

Tapi kini, wajahnya penuh warna bagai pelangi, bahkan mengaurora berkilau-kilau. Apalagi dia membelikan untukku sebotol minuman segar. Sungguh memang begitu seharusnya, keceriaan wajah harus digambarkan dengan keceriaan tingkah. Maka tampaklah seperti pelangi yang berwarna-warni bersanding dengan pemandangan gunung yang bertumpukan awan-awan putih lembut, kemudian di bawahnya nampak samudera lautan meluas, airnya mengombak-ombak, berdebur merdu, memanjakan telinga orang yang mendengar, dan menyedapkan pandangan mata orang yang melihat. Subhanallah, andai pemandangan seperti itu terdapat pada pribadi manusia. Berjalan hilir-mudik dengan penuh kepesonaan dan keindahan. *Semoga penulis dan pembaca bisa menjadi pribadi yang seperti itu. Katakan! “Aamiin.” ^_^
“Za, ternyata ini hikmah di balik kesabaranku selama ini,” tiba-tiba dia mulai curhat, “Awalnya aku tidak betah mengajar di tempat ini (Bekasi). Aku selalu ingin pulang kampung (Sumatera). Mengajar anak-anak SD menguras banyak tenaga dan pikiran. Namun kemudian, Allah membuka hatiku, aku bersabar, berusaha menjalani semuanya dengan ikhlas dan tabah. Sehingga ahirnya, tersingkaplah rahasia indah rencana-Nya,” ungkapnya sepenuh jiwa.

Mendengar penuturannya tersebut, hatiku bergetar dan hampir saja air mataku meleleh. Betapa terasa dan teringat, bahwa memang Allah sungguh tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang bersabar, “Sesungguhnya, barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang sentiasa berbuat kebaikan.” (Yusuf : 90)
“Allah menghendaki kemampuan bagiku untuk bersabar, dan ternyata ada kehendak lain setelahnya yang lebih manis; yaitu menghadiahkanku seorang bidadari,” tuturnya lagi.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah, bersyukurlah wahai saudaraku, engkau akan melengkapi setengah agamamu,” seruku.
“Oh iya, calon istriku itu punya adik perempuan, yang sepertinya sudah siap menikah juga. Barangkali kamu mau,” tiba-tiba saja dia menawarkan.
Aku hanya tersenyum.
“Kakaknya cantik, adiknya juga pasti cantik,” rayunya.
“Alhamdulillah, terimakasih,” ucapku sambil tersenyum, “Terus kapan hari jadi nikahnya?” segera tanyaku seraya mengalihkan pembicaraan.
“Insyaallah, sebulan lagi,” jawabnya.

The End

***Untuk sahabatku sekaligus saudaraku, aku ucapkan terimakasih untuk inspirasinya. Cerita hidupmu sungguh bermakna dan penuh ibrah. Oleh karenanya, aku tulis.

Dan ma’af jika ada kesalahan atau kelebaian dalam kalimat-kalimat di cerita  ini.. Cerita ini aku tulis secara fiksi, namun tidak jauh dari realita yang ada. Sumber dari kehidupan asli seorang pemuda bernama; SAIF hafizhahullah wa iyyana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar