Sabtu, 12 Maret 2016

SAKINAH



Makna cinta selalu ada menghiasi sepasang kekasih suami-istri, walau mungkin keduanya jarang mengungkap satu sama lain. 

Cinta itu tergambar dari bagaimana mereka istiqamah dalam kebersamaan, kesetiaan, dan perjuangan dalam membentuk rumahtangga yang SAKINAH (hidup jadi nyaman), MAWADDAH (hidup jadi penuh kasihsayang), dan RAHMAH (hidup jadi lebih dekat Ar Rahman Ar Rahim). 

Subhanallah walhamdulillah.

Bekerja Mulia


Saat kita bekerja, janganlah dahulu kita berpikir sebesar apa gaji yang bisa kita ambil.
Tapi berpikirlah, sebesar apa kinerja yang bisa kita salurkan.
Life is marketing, hidup adalah pemasaran (perdagangan).
Jika kita bisa menaikan nilai harga diri kita, maka hidup akan membayar mahal diri kita.
Curigalah saat bayaran (penghasilan) kita masih kecil. Jangan-jangan sekecil itu pula harga diri kita.
Dan juga perlu dipahami, bahwa hidup tidak selamanya membayar kita dengan uang dan uang, kadang bayaran itu berupa orang-orang baru, ilmu baru, wawasan baru, pengalaman baru, dan seterusnya.

Subhanallah walhamdulillah.
"Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfa'at bagimu, dan selalulah memohon pertolongan kepada Allah, dan JANGAN BERSIKAP LEMAH, dan apabila suatu hal yang buruk menimpamu, maka janganlah mengatakan 'kalau seandainya aku begini atau begitu, tentu suatu hal yang buruk ini tidak akan menimpaku', tapi katakanlah 'Allah sudah menakdirkan hal ini, dan apa yang Dia kehendaki, pastilah terjadi'. Karena kata SEANDAINYA dapat membuka pintu-pintu syaithan." (HR. Muslim)

Allah Maha Bijaksana


Tatkala Allah tidak memberikan apa yang selalu kita minta di dalam do'a-do'a kita, itu boleh jadi bahwa apa yang kita minta tersebut bukanlah kebaikan bagi kita, sehingga Allah menahan permintaan kita tersebut, dan Allah Maha Bijaksana mengetahui apa yang lebih baik bagi kita.
Seringkali kita memandang baik apa yang kita minta, namun kita lupa bahwa Dia yang kita minta, jauh lebih mengetahui tentang kebaikan yang seharusnya kita dapatkan dalam hidup ini. Maka percayakanlah segala ijabah kepadaNya dan jangan pernah berhenti berdo'a.
Atau boleh jadi apa yang kita minta tersebut adalah permintaan yang bersifat sementara, terbatas waktu, namun di sisi lain, Allah Maha Bijaksana lebih ingin supaya kita mendapatkan sesuatu dariNya, yaitu suatu nikmat abadiah yang bersifat kontinyu, suatu nikmat yang menjadi keindahan hidup di dunia, dan menjadi wasilah terbaik yang mengantar kita ke syurgaNya.
Subhanallah walhamdulillah wala haula wala quwwata illa billah. Astaghfirullah wa atubu ilaih.
Sungguh-sungguh selama ini, betapa kita sering berprasangka buruk kepadaNya, padahal sebenarnya kita lah yang bodoh, tidak memahami bahwa DIA LAH YANG MAHA BIJAKSANA yang mengatur segala urusan hamba-hambaNya berdasar hikmahNya bagi kebaikan hidup mereka.
Dalam hadits qudsi Allah berkata kepada Jibril,
"Wahai Jibril, siapakah yang berdo'a meminta sesuatu ini?"
"Itu si fulan A ya Rabb," jawab Jibril 'alaihis salam.
"Segeralah berikan apa yang dia minta, sungguh Aku benci mendengar suara rintihannya dalam meminta."
Di sisi lain,
"Wahai Jibril, siapakah yang berdo'a meminta sesuatu ini?"
"Itu si fulan B ya Rabb," jawab Jibril 'alaihis salam.
"Tunggu, tahanlah dahulu, jangan segera berikan apa yang dia minta, karena Aku sangat senang mendengar suara rintihannya dalam meminta."
‪#Buah tulisan dari ceramahan Syaikh Mutawalli Sya'rawi seorang ahli tafsir dari Mesir hafizhahullah.

Kumpulan Hikmah III


Kehidupan ini bertahap. Nikmati saja apa yang sedang dijalani saat ini.
Allah subhanahu wa ta'ala lebih tahu kapan waktu yang paling tepat untuk membuat kehidupan kita menjadi lebih baik dan indah.

Dikritik dan dikomentar pedas oleh orang lain itu hal biasa, boleh jadi, itu menjadi sarana/wasilah supaya kita bisa memperbaiki dan berbuat lebih baik lagi ke depannya. 
‪#Jangan Menyerah!
Yang bahaya itu tatkala ada orang yang datang memuji-muji kita, lalu kita merasa nyaman dengan pujian tsb.
Dan pada ahirnya, kita merasa cukup, tak berkembang, terlalu kepedean, lalu hancur.
‪#Teruslah berlari, perjalanan masih panjang.

Tatkala orang-orang memandang kita suci dan terhormat, sebenarnya mereka sedang memandang Kelembutan dan Kasihsayang Allah yang telah menutupi kebusukan dan keaiban kita.
"Dan aku tidak (menyatakan) bahwa diriku terbebas dari kesalahan. Karena sesungguhnya hawanafsu itu selalu mendorong pada kejelekan. Kecuali hawanafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun Maha Penyayang." (Yusuf : 53)

Mensyukuri setiap kegagalan, bukan menyesalinya. Belajar dari kegagalan, bukan mengeluhkannya. Bangkit dari kegagalan, bukan mengerdil. Itulah jiwamu wahai GURU KEHIDUPAN. Jadilah seperti itu! Jangan Menyerah!

Ada saatnya dalam hidup, kita melewati lorong gelap yang panjang, persis seperti kereta. Tapi pastikan, kereta kita tetap jalan walau mungkin lambat. Sebab di luar sana pasti ada CAHAYA.

Jangan pernah berhenti berbuat kebaikan, dan jangan sok berlagak berbuat keburukan.
Karena, "Jika kamu berbuat kebaikan, maka sebenarnya kebaikan itu adalah untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat keburukan, maka itulah juga yang akan kaudapatkan." (Al Isra : 7)
Itu Nasihat Allah subhanahu wa ta'ala. 
HARUS YAKIN ITU!

Hidupmu 5 tahun ke depan akan begitu-begitu saja, kecuali engkau mau selektif; beralihlah pada teman-teman yang inspiratif dan pada buku-buku yang motivatif.

Orang yang sering gagal, tapi ia tidak menyerah; terus berusaha dan mencoba.
Kelak, saat ia berhasil, ia akan menjadi orang yang rendah hati dan bijaksana.
Subhanallah walhamdulillah.

Renungan; Jangan berpaling dari-Nya

Renungan

Kita telah lama menjalani kehidupan di dunia, tapi rasa-rasanya kita begitu jauh dari kebahagiaan, justru yang ada adalah kehidupan yang serba rumit, sempit, penuh masalah. Padahal sebenarnya kita telah diberi berbagai fasilitas kemewahan dan kekayaan. Ya Allah, dimanakah kebahagiaan itu?

Sejatinya, kebahagiaan itu adalah bentuk daripada responitas kita terhadap kehidupan ini. Lihatlah bagaimana disana ada seorang yang hidup sederhana, serba seadanya, tapi ia tampak begitu bahagia dan rautwajah selalu dipenuhi senyuman. Itu tidak lain, karena ia merespon kehidupan ini dengan kesyukuran dan kesabaran.

Allah subhanahu wa ta'ala mengingatkan kita supaya kita bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan; nikmat yang bersifat harian, bulanan, tahunan, dsb, jangan melihat besar-kecilnya, tapi lihatlah Siapa Yang Memberi! Itulah yang akan menjadikan kita lebih menghargai pemberian-Nya. Syukur!

Dan Dia mengingatkan kita supaya kita bersabar dalam menjalani kehidupan yang barangkali sering kita keluhi ini; kenapa begini-begitu, ingin ini-itu, masalah ini-itu, dsb. Sabar!

Aplikasi syukur dan sabar terlihat dari bagaimana seorang hamba itu mengenal Allah subhanahu wa ta'ala, mentahtakan-Nya di hati, mematuhi dan menta'ati-Nya dalam segala hal dan kondisi, dan selalu beristighfar sepanjang putaran waktu.

Maka janganlah pernah kita berpaling dari peringatan-Nya tatkala peringatan itu telah sampai kepada kita.

"Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kelak Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Lalu ia berkata, 'ya Rabb, kenapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku bisa melihat'. Demikianlah dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu malah mengabaikannya, maka demikian juga hari ini, kamu diabaikan." (Thaha : 124)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya berkata,
"Ia akan menjalani kehidupan yang sempit di dunia,  ia tidak pernah tenang, dadanya dipenuhi kegelisahan, walau mungkin hidupnya nampak diguyuri banyak kenikmatan; memakai baju yang disukai, memakan makanan yang disukai, dan bertempat tinggal di rumah yang disukai, tetapi hatinya jauh dari keyakinan dan hidayah, maka justru semua itu, menjadikannya hidup dalam kesetresan (depresi), kebingungan dan keraguan."

Tidak hanya itu, Imam Thabari rahimahullah menambahkan di dalam tafsirnya, bahwa kesempitan tidak hanya dirasakan pada saat ia hidup di dunia, tetapi juga akan dirasakan saat kelak ia masuk kubur,

"Kuburannya akan menghimpitnya rapat, sehingga tulang-belulangnya menjadi berantakan."

Demikianlah apa yang akan didapati oleh orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah subhanahu wa ta'ala.


#Mustahil; berpaling jauh dari Allah, lalu berharap hidup lapang dan bahagia?!

Jumat, 11 Maret 2016

Renungan Untuk Para Aktifis Dakwah & Penyampai Nasihat


Tatkala kita berbicara di depan umum, maka janganlah hanya sekedar beretorika, tanpa memperhatikan apa yang sedang kita sampaikan (dibicarakan).
Jika yang kita sampaikan (bicarakan) adalah tentang seputar agama, maka merujuklah ke sumber utama, yaitu Al Qur'an dan Hadits-hadits yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya, kemudian untuk memperluas makna dan wawasan, maka bacalah tafsir atau penjelasan para sahabat, para ulama, para kiayi atau asatidz, supaya kita yakin bahwa apa yang sedang/akan kita sampaikan (bicarakan) kepada halayak umum, bukanlah bersumber dari hawa nafsu diri belaka.
Renungkanlah ayat berikut,
"Dia (Muhammad) tidak berbicara atas dasar hawa nafsunya, melainkan bicaranya itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An Najm : 3-4)
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah dijamin kema'shumannya, yaitu dijauhkan dari kesalahan dan dosa, beliau tidak mengedepankan hawanafsunya dalam menyampaikan dakwah, maka apatah lagi kita sebagai manusia yang akrab dengan kesalahan dan dosa, maka tentu kita harus membuang jauh-jauh hawanafsu diri kita tatkala kita berdakwah, berbicara, atau menyampaikan sesuatu kepada umat.
Jangan sampai di dalam menyampaikan dakwah, kita lebih condong mengedepankan atau mendahului pendapat yang timbul dari hawanafsu diri kita, sebelum kita mendahului atau menge-cek dan ricek kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui." (Al Hujrat : 1)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah rahimahumullah, bahwa;
Tatkala beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz ibn Jabal ke Yaman, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Mu'adz,
"Dengan apa kamu akan berhukum (berdakwah)?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan kitab Allah,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, "Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari kitab Allah?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Dengan sunnah Rasul,"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih bertanya lagi, "Jika kamu tidak mendapati apa-apa dari sunnah-ku?"
Mu'adz radiyallahu 'anhu menjawab, "Aku berjtihad dengan pendapatku (tanpa menyelisihi Al Qur'an dan Sunnah),"
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq-Nya kepadamu, yang menjadikan aku ridho."
Dan Ibnu 'Abbas radiyallahu 'anhu berkata menafsiri ayat diatas,
"(Dalam berdakwah) janganlah kamu berbicara menyelisihi Al Qur'an dan Hadits."
Adapun masalah ijtihad, maka itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.
Ijtihad tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam Al Qur'an dan Al Hadits atau yang sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.
Imam Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana pendapat anda?"
Maka beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah, lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."
Ijtihad tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi mukholafah (penyelisihan).
Para ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in lain yang telah berijtihad dengan keilmuannya yang sudah mumpuni dan kredibel. Sehingga kemudian mereka pun lebih memilih untuk mengambil ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in tsb, tanpa mengadakan ijtihad baru.
Dan sungguh ungkapan yang sangat mengerikan tatkala ada sebagian orang yang dengan lantang mengatakan, "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja, selama itu bisa dipertanggungjawabkan."
Sungguh, orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman, dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang penting bisa dipertanggungjawabkan."

Subhanallah! Subhanallah! Lahaulawalaquwwata illa billah!
Sungguh, jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran pendapat masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta'ala dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak agama-Nya.
"Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali." (Hud : 88)
#####

"Ya Allah, janganlah Engkau menghukum hamba, lantaraan pujian orang-orang yang diucapkan kepada hamba, karena Engkau lebih mengetahui siapa sebenarnya diri hamba ini, dan jadikanlah hamba sebagai hamba yang lebih baik daripada apa yang disangkakan oleh orang-orang terhadap hamba, dan ampunilah mereka atas apa yang tidak mereka ketahui."