Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia lah yang mengatur segala urusan hamba-hamba-Nya, Dia berhak berbuat apa saja sekehendak-Nya, dan sesungguhnya urusannya adalah apabila Dia menghendaki sesuatu, maka Dia tinggal berkata, “Jadilah!” maka sesuatu itu pun benar-benar terjadi.
Insyaallah, pada tulisan ini, aku ingin bercerita mengenai
pengalaman seorang sahabat senior yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri.
Ini adalah pengalaman ketika dia melamar seorang wanita. Kita sebut saja nama
sahabatku itu; Saif.
Hari itu, Saif dikenalkan dengan seorang wanita oleh seorang ustadz
yang tidak lain ustadz itu adalah temannya sendiri. Dia dikenalkan dengan
wanita tersebut hanya baru sebatas nama saja dan sedikit tentang pribadinya. Dan
kita sebut saja wanita itu; Zizi, seorang santriwati yang baru saja lulus dari
pondok pesantren.
Mendengar tentang Zizi, Saif merasa bahwa dirinya tidak pantas
untuk Zizi, “Aduh ustadz, ana ini orangnya tahu diri,” lirihnya kepada ustadz,
“Sudahlah, ayo lamar saja,” ustadz meyakinkan.
Karena merasa diri tidak pantas, ahirnya Saif pun berinisiatif
untuk menawarkan Zizi kepada sahabat-sahabatnya yang dirasa lebih pantas untuk
Zizi. Padahal dia sendiri pun belum pernah melihat Zizi secara langsung. Hanya
baru tahu nama dan sedikit tentang pribadinya.
Tahu siapa yang didatangi? Ya, aku salah satunya.
Saif mendatangiku,
“Za, antum mau menikah tidak? Ada akhwat sepertinya cocok buat
antum,” tawarnya kepadaku.
Tapi aku hanya tersenyum sambil memberi isyarat bahwa aku belum
ingin menikah, “Buat antum saja,” kemudian ucapku.
“Tapi, ana sudah ada wanita lain,” terangnya.
“Istikhorokan saja dulu! Jangan terlalu yakin dengan wanita yang
belum sah atau halal untukmu dan jangan menentukan pilihan sebelum meminta
pilihan yang terbaik kepada Allah,” jelasku kepadanya.
*****
Semakin hari berlalu, semakin Saif merasa bimbang,
“Maju, tidak. Maju, tidak. Ah, ana orang yang tahu diri, ana tidak
pantas untuk Zizi,” bisiknya dalam hati sambil mengeratkan gigi-giginya dan
mengepalkan tangannya. Geram.
“Kalau ana maju, lalu bagaimana dengan miya (wanita yang sedang
menjalin hubungan dengannya, tapi jaraknya berjauhan terpisah beberapa kota)?
Dia pasti akan marah jika mengetahui ana melamar wanita lain,” pikirnya
bingung.
Alhamdulillah, di tengah kebingungan itu, Allah menggerakkan hati
dan anggota tubuhnya untuk menghadap-Nya. Dan ini merupakan rahmat dan taufiq
dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuknya. Dan tidaklah seorang hamba itu diberi
taufiq oleh Allah melainkan karena adanya ilmu pada dirinya.
Saif pun shalat istikhoro, menghadapkan hati dan anggota tubuhnya
di hadapan Al Jabbar Al ‘Aziz Al Hakim. Tidak hanya sekali, tapi Saif
mengulangi istikhoronya sampai dua kali agar hasilnya terasa mantap, yakin dan
tenang di hati.
Selang beberapa hari setelah sholat istikhoro, ahirnya Saif pun
merasa cenderung untuk melamar Zizi. Hatinya terasa mantap, yakin dan tenang.
Alhamdulillah, Saif mendapat nomor hape Zizi dan langsung
meng-sms-nya,
“Assalamu’alaikum,” pesannya.
“Wa’alaikumussalam, ini siapa?” balas Zizi.
“Alhamdulillah. Langsung dibalas,” bisik Saif dalam hati sambil
tersenyum dan menempelkan hapenya di dada. Dipeluk erat. Tanda bahagia.
“Anti bisa jaga amanah jika ana mengenalkan diri?” pesannya lagi ke
Zizi.
“Iya, Insyaallaah,” balas Zizi.
“Ana Saif, guru di SD (sensor). Ana mau bertanya, anti sudah ada
yang melamar belum?” tanyanya.
“Belum,” jawab Zizi.
*****
Setelah merasa diri sudah mantap, dia pun mendatangi ustadznya,
“Ustadz, insyaallah ana positif untuk melamar Zizi, tapi ana ingin
nazhor (istilah nikah; melihat calon pengantin wanita) terlebih dahulu.”
“Alhamdulillah, kalau begitu besok kita langsung ke rumah Zizi,”
tegas ustadz.
Hari cepat berganti, kemarin berlalu, dan esok menjadi sekarang, ya
sekarang lah waktu bagi Saif untuk menazhor Zizi, calon pengantinnya.
Di sepanjang perjalanan, Saif merasa kurang percaya diri, tubuhnya
gemetaran layaknya orang kedinginan, jantungnya berdegup kencang seakan hampir
keluar menembus dadanya. Tapi kemudian dia menatap langit, berdo’a, “Yaa Rabb,
yassir li amri (yaa Rabb, mudahkanlah urusanku)”
“Alhamdulillah sudah sampai,” ustadz memberhentikan motornya.
Tidak terasa, perjalanan terasa begitu cepat. Kini, Saif dapat
melihat pintu rumah Zizi,
“Ustadz, cukuplah! Cukup melihat pintu rumahnya saja. Ayo kita
pulang,” ucap Saif merasa minder untuk melanjutkan langkahnya.
“Loh, belum perang ko’ sudah menyerah. Ayo akhi, gagahkan diri
antum, tajamkan pandangan, luruskan niat hati, bismillah,” ustadz memberi
semangat seraya merangkul pundaknya, “Ayo akhi, kita jalan,” lanjut ustadz
sambil menghentakkan langkah kaki yang pertama. Duk!
Pintu rumah Zizi pun diketok. Tok tok tok, “Assalamu’alaikum!” tok
tok tok, “Assalamu’alaikum,” ustadz mengulangi ucapan salamnya. Saif yang berada
di sampingnya hanya berdiri diam, tapi mulutnya nampak berkomat-kamit, persis
seperti embah dukun. Entah mantra apa yang dibaca?
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” terdengar suara
balasan dari dalam rumah. Suara lelaki yang sepertinya itu adalah bapaknya
Zizi.
Dan benar saja, itu adalah bapaknya Zizi.
“Assalamu’alaikum pak, apa kabar?” ucap ustadz seraya menyalami tangan
bapak Zizi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, Alhamdulillah baik,”
jawab bapak Zizi, “Ayo silahkan duduk!” lanjutnya.
Ustadz pun langsung to the point, mengutarakan maksud
kedatangannya,
“Begini pak, ini saudara kami Saif datang ke rumah bapak bermaksud
ingin menazhor putri bapak yang bernama Zizi. Disini saya sebagai pendamping
saja.”
“Alhamdulillah, saya merasa senang jika memang demikian maksud
kedatangan kalian,” ucap bapak Zizi, “Ziiii, ziiii, kesini nak! Ini ada ikhwan
yang mau nazhor,” Zizi pun dipanggil.
“Iya pak, Zizi mau memakai kaos kaki dulu,” sahut lembut Zizi.
“Tidak usah memakai kaos kaki nak, biarkan calonmu ini melihatmu
dari ujung kepala sampai ujung kaki,” ucap bapaknya.
Saif yang sedari tadi diam, nampak menelan ludah, seraya
membaguskan posisi duduknya. Dan menarik napas dalam-dalam, kemudian
mengeluarkannya pelan-pelan, “Bismillah,” lirihnya.
Deg, deg, deg, deg, deg! Seisi rumah tiba-tiba nampak gelap. Saif
linglung. Menengok ke kanan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Napasnya kini mulai
tak beraturan. Ia terengah-engah. Keringat mulai bercucuran membasahi wajahnya.
“Nak Saif, ini putri bapak,” ucap bapak Zizi mengagetkan
lamunannya.
“Mana? Mana? Mana?” tanyanya berulang-ulang salah tingkah. Maklum,
kesadarannya baru pulih. Dan…
Mata Saif pun mendapati sosok wanita cantik yang wajahnya berseri
bagai purnama yang bersandingkan sejuta bintang. Wanita itu, tepat berada di
hadapannya. Cantik jelita.
“Subhanallah,” bisik Saif dalam hati, kemudian langsung memalingkan
pandangannya.
“Bagaimana nak Saif? Sudah melihat putri saya,” tanya bapak Zizi.
“Alhamdulillah, cukup pak,” jawab Saif sambil menganggukkan
kepalanya.
Zizi nampak tersenyum, dan ia pun sempat melirik ke Saif yang
wajahnya nampak damai, dan terasa ketenangan dari raut wajahnya tersebut.
*****
Semenjak kepulangannya dari menazhor, wajah Zizi mulai
terbayang-bayang di pikirannya,
“Subhanallah, ternyata dia
adalah wanita yang cantik,” lirih Saif sambil menatap langit-langit kamarnya
dan merangkul erat bantal gulingnya.
Saif mulai merasakan ada getaran di dalam hatinya, getaran yang
membuatnya semakin yakin untuk segera menikah. Tapi kemudian, timbul di
benaknya perasaan ragu, jangan-jangan nanti dia ditolak.
Sebab, mengingat kejadian yang pernah berlalu, bahwa dia pernah
melamar seorang wanita, namun ternyata dia disambut dengan kurang baik. Dia
pulang dengan perasaan kecewa, merasa diri seperti orang yang paling bodoh.
Awalnya sang wanita meyakinkan, namun akhirnya menghancurkan.
“Zizi, kamu adalah wanita baik dan cantik. Aku adalah orang yang
tahu diri, aku tidak pantas untukmu,” Saif bergumam di dalam hatinya.
“Assalamu’alaikum,” Saif pun mengirim pesan ke Zizi.
“Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh,” balas Zizi.
“Zi, kamu mau tidak jika menikah dengan sahabatku, dia lebih baik
dariku,” pesannya ke Zizi.
“Aneh! Kemarin yang menazhorku kan kamu, ko’ malah kamu menawarkan
orang lain? Aku ini bukan barang yang mudah di oper sana-oper sini,” jelas
Zizi.
“Bukan begitu maksudku, sebenarnya aku hanya ingin jawaban darimu,
apakah kamu menerimaku?” tanya Saif.
“Beri aku waktu satu minggu untuk berpikir,” pinta Zizi.
Membaca pesan tersebut, Saif mulai gelisah dan bimbang. Dia tidak
mungkin menunggu selama itu. Jemuran saja, jika digantung satu hari, langsung
kering, kalau digantung sampai tujuh hari, entah jadi apa itu jemuran?. Apalagi
hati yang bimbang, bisa sekarat.
“Zi, aku tidak mau digantung selama itu, aku tidak bisa menunggu
selama satu minggu, kalau kamu memang tidak menerima, ya bilang saja sekarang
kalau kamu tidak menerima, aku tidak apa-apa ko. Jangan terima aku yah,”
balasnya ke Zizi.
“Ko malah jangan diterima! Ya sudah, besok atau lusa saja
jawabannya,” Zizi mulai merasa heran dengan sikap Saif. Baru bernazhor, belum
menghitbah, tapi Saif malah minta ingin ditolak.
“Baiklah, aku menunggu jawaban darimu” balas Saif.
*****
Keesokan harinya, “Aku menerimamu, maka segeralah khitbah aku
(Istilah nikah; meminang)” Zizi mengirim pesan ke Saif.
“Alhamdulillah, aku diterima,” teriak Saif mengucap syukur seraya
bersungkur sujud di hadapan Yang Maha Kuasa.
Saif merasa bahagia dan langsung membalas pesan dari Zizi,
“Alhamdulillah, terimakasih Zi sudah mau menerimaku, tapi bagaimana dengan
ke-dua orang tuamu?” tanya Saif.
“Kamu datang saja ke rumah, langsung lamar aku,” pinta Zizi.
“Tapi aku ragu dan takut ditolak oleh ke-dua orang tuamu. Aku ini
hanya lelaki biasa,” Saif merasa minder dengan kondisinya.
“Jangan takut! Bapakku orangnya baik ko dan enak diajak ngobrol.
Ayo semangat! Lamar aku,” Zizi menyemangati.
Membaca pesan dari Zizi tersebut, gairah Saif pun bergejolak,
semangatnya membara, gigi-giginya mulai menampakkan taring kejantanannya.
Tring!
“Tapi aku ingin bertanya, ko dengan gampangnya kamu menerimaku?”
tanya Saif.
“Aku hanya yakin bahwa kamu adalah lelaki yang mampu
bertanggungjawab, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku,” jelas Zizi.
“Alhamdulillah, baiklah. Tunggu aku melamarmu! Segera tanpa nanti
insyaallah,” balas Saif dengan mantap.
*****
Kini, tibalah waktu pembuktian, bahwa Saif memang seorang pejantan
tangguh.
“Assalamu’alaikum, insyaallah sekarang juga aku akan mendatangi
rumahmu,” pesan Saif ke Zizi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, silahkan!” balas
Zizi.
“Baiknya, aku sendirian atau mengajak orang lain?” tanya Saif.
“Sendiri saja, kamu harus jantan,” tegas Zizi.
Ini merupakan tantangan telak bagi Saif.
“Siapa takut?!” balas Saif, padahal tangannya sedang gemeteran menggenggam
hape.
“Bismillah,” bisiknya dalam hati.
Saif bersiap-siap untuk segera berangkat menuju rumah Zizi. Dia
memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, menyisir rambut, de el el.
Tapi dia lupa satu hal. Dia belum memakai celana. *upz, hehe
Setelah siap, Saif pun berangkat. Dia sudah benar-benar mantap
untuk mengkhitbah Zizi. Apalagi Zizi sudah memberi lampu hijau. Dia mengingat
kembali pesan yang pernah dikirim oleh Zizi kepadanya, “Jangan takut! Bapakku
orangnya baik ko dan enak diajak ngobrol. Ayo semangat! Lamar aku.” Pesan itu
membakar segala keraguan yang ada di benaknya. Saif hanya perlu keyakinan,
bahwa dia bisa menaklukan hati kedua orang tua Zizi.
Langkah demi langkah, ahirnya Saif sampai di depan rumah Zizi. Dia
menatap rumah itu, “Zizi, insyaallah kamu akan menjadi permaisuriku,” lirihnya
sambil mengepalkan jemari-jemari tangannya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Assalamu’alaikum,” ucap Saif sedikit berteriak.
“Wa’alaikumussalam,” pintu rumah terbuka, ternyata bapak Zizi yang
menyambutnya.
“Eh, nak Saif, ayo silahkan masuk,” bapak Zizi mempersilahkan,
“Bagaimana kabarmu?” lanjutnya.
“Alhamdulillah pak, selalu baik. Bapak dan keluarga bagaimana?”
tanya Saif.
“Alhamdulillah, semuanya dalam keadaan baik,” jawab bapak Zizi.
“Begini pak, kemarin kan saya sudah menazhor puteri bapak, dan
Alhamdulillah sekarang saya datang lagi untuk langkah selanjutnya,” ucap Saif
langsung to the point.
“Apa itu langkah selanjutnya?” canda bapak Zizi, pura-pura tidak
tahu.
“Ya, selanjutnya. Ya selanjutnya pak,” Saif terbata.
“Ya selanjutnya, ya selanjutnya. Ya opo?” tanya bapak Zizi.
“Melamar pak!” jawab Saif. Tegas.
“Oh, melamar. Nanti bapak bilang dulu ke ibu,” ucap bapak Zizi
seraya bergegas ke dapur.
Sebenarnya, sedari tadi mata Saif jelalatan melihat kesana-sini,
mencari sosok yang akan dilamarnya, “Zizi mana yah?” bisiknya dalam hati.
Di dapur, terdengar suara percakapan antara bapak Zizi dan ibu
Zizi,
“Buuu, ini ada nak Saif yang kemarin datang menazhor puteri kita.
Dan sekarang dia datang lagi. Katanya mau melamar puteri kita bu. Ibu
bagaimana? Setuju!” tanya bapak.
“Tahun depan saja pak. Kita biarkan agar mereka lebih mengenal satu
sama lain dahulu,” jawab ibu.
“Loh, itu gak boleh bu. Itu namanya kita membiarkan mereka
berpacaran. Dan itu dilarang oleh agama kita,” terang bapak.
*****
Alhamdulillah, ahirnya lamaran Saif pun diterima. Dia begitu
bersyukur seraya menahan haru. Seorang lelaki yang sering dianggap nyeleneh dan
suka bergurau oleh sebagian teman-temannya, kini akan menikahi seorang wanita
sholihah yang cantik jelita. Menjadi pendamping hidupnya dalam suka-duka
sebagai ibadah teringgi kepada Dzat Yang Maha Kuasa, demi mewujudkan sakinah,
mawaddah wa rahmah.
“Alhamdulillah za, lamaranku diterima,” pesan Saif kepadaku.
“Alhamdulillah, selamat saudaraku. Terus, rencananya kapan?”
tanyaku.
“Insyaallah sebulan lagi,” jawabnya. Tidak lupa menyertakan ^_^
tanda bahwa dia sedang berbahagia.
“Muyassar (dimudahkan) insyaallah,” do’aku untuknya.
“Aamiin. Syukron za,” balasnya.
Selang seminggu atau dua minggu setelah percakapan melalui What’ups,
Saif datang berkunjung ke Jakarta. Kita bertemu di tempat pengabdianku dahulu;
Yayasan Al-Sofwa Lenteng Agung Jakarta Selatan.
Saat pertamakali berjumpa, wajahnya nampak lain, beda seperti
wajahnya di hari-hari yang berlalu. Dulu, wajahnya seperti awan hitam; mendung,
seram, berkilat-kilat, bergemuruh pertir, hujan deras. Siapa pun yang
melihatnya, akan langsung bersedia payung atau bahkan bersedia perahu. Sedia
payung dan perahu sebelum Saif berwujud. Hehe ^_^
Tapi kini, wajahnya penuh warna bagai pelangi, bahkan mengaurora
berkilau-kilau. Apalagi dia membelikan untukku sebotol minuman segar. Sungguh
memang begitu seharusnya, keceriaan wajah harus digambarkan dengan keceriaan
tingkah. Maka tampaklah seperti pelangi yang berwarna-warni bersanding dengan
pemandangan gunung yang bertumpukan awan-awan putih lembut, kemudian di
bawahnya nampak samudera lautan meluas, airnya mengombak-ombak, berdebur merdu,
memanjakan telinga orang yang mendengar, dan menyedapkan pandangan mata orang
yang melihat. Subhanallah, andai pemandangan seperti itu terdapat pada pribadi
manusia. Berjalan hilir-mudik dengan penuh kepesonaan dan keindahan. *Semoga
penulis dan pembaca bisa menjadi pribadi yang seperti itu. Katakan! “Aamiin.”
^_^
“Za, ternyata ini hikmah di balik kesabaranku selama ini,”
tiba-tiba dia mulai curhat, “Awalnya aku tidak betah mengajar di tempat ini
(Bekasi). Aku selalu ingin pulang kampung (Sumatera). Mengajar anak-anak SD
menguras banyak tenaga dan pikiran. Namun kemudian, Allah membuka hatiku, aku
bersabar, berusaha menjalani semuanya dengan ikhlas dan tabah. Sehingga
ahirnya, tersingkaplah rahasia indah rencana-Nya,” ungkapnya sepenuh jiwa.
Mendengar penuturannya tersebut, hatiku bergetar dan hampir saja
air mataku meleleh. Betapa terasa dan teringat, bahwa memang Allah sungguh
tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang bersabar, “Sesungguhnya,
barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang sentiasa berbuat kebaikan.” (Yusuf : 90)
“Allah menghendaki kemampuan bagiku untuk bersabar, dan ternyata
ada kehendak lain setelahnya yang lebih manis; yaitu menghadiahkanku seorang
bidadari,” tuturnya lagi.
“Alhamdulillah, Alhamdulillah, bersyukurlah wahai saudaraku, engkau
akan melengkapi setengah agamamu,” seruku.
“Oh iya, calon istriku itu punya adik perempuan, yang sepertinya
sudah siap menikah juga. Barangkali kamu mau,” tiba-tiba saja dia menawarkan.
Aku hanya tersenyum.
“Kakaknya cantik, adiknya juga pasti cantik,” rayunya.
“Alhamdulillah, terimakasih,” ucapku sambil tersenyum, “Terus kapan
hari jadi nikahnya?” segera tanyaku seraya mengalihkan pembicaraan.
“Insyaallah, sebulan lagi,” jawabnya.
The End
***Untuk sahabatku sekaligus saudaraku, aku ucapkan terimakasih
untuk inspirasinya. Cerita hidupmu sungguh bermakna dan penuh ibrah.
Oleh karenanya, aku tulis.
Dan ma’af jika ada kesalahan atau kelebaian dalam kalimat-kalimat
di cerita ini.. Cerita ini aku tulis secara
fiksi, namun tidak jauh dari realita yang ada. Sumber dari kehidupan asli
seorang pemuda bernama; SAIF hafizhahullah wa iyyana.